TAMENG UNTUK AYAH

Ayahku seorang tukang jahit cukup ternama di kampung ini. Beliau sangat bersahaja dan sangat ramah kepada setiap orang yang ditemuinya, baik yang dikenalnya atau pun tidak. Kesehariannya, ayah selalu menghabiskan waktunya di sebuah kios kecil tepat di depan pintu rumah kami untuk menjahit baju pesanan langganannya. Apabila order lagi sepi ayah mencari order keliling dengan menggunakan sepeda, sehingga ayah dikenal juga sebagai tukang jahit keliling oleh warga setempat.

Rumah kami berada di Kampung Zaitun. Rumah yang sebagian besar dindingnya tanpa plesteran semen itu, lebih mirip sebuah kotak pembungkus televisi raksasa. Hanya ada sebuah pintu masuk, satu buah jendela tepat di samping pintu dan satu buah lagi jendela kamar. Tidak ada pintu belakang, karena persis di belakang rumah kami berdiri juga rumah-rumah warga lain yang tidak kalah kumuhnya dengan rumah yang kami tempati. Kondisi rumah-rumah sangat rapat.

Kios tempat ayah berkerja untuk menjahit adalah ruang tamu yang telah disekat menjadi dua bagian. Sekatan yang agak besar menjadi tempat ayah bekerja, menjahit baju pesanan langganannya. Di pojok ruang itu terdapat lemari kaca untuk menggantung pakaian pelanggannya yang sudah selesai ia jahit. Sekatan yang lebih kecil menjadi ruang tamu keluarga kami.

Udara di luar rumah sekarang ini sangat panas. Hawa panas sampai menusuk ubun-ubun kepalaku. Mungkin akibat dominasi iklim laut. Iklim di tanah Palestina memang berubah-ubah, antara iklim laut tengah dan iklim gurun, Kendati demikian pada masa-masa tertentu iklim gurun pasir juga mempengaruhi iklim keseluruhan. Sehingga pada malam hari udara sangat dingin.

Kampung Zaitun berada di Jalur Gaza. Ada beberapa kota yang berada di Jalur Gaza, di Gaza utara ada kota Beit Hanoun dan Beit Lahiya, di bagian Timur Jalur Gaza juga banyak perkampungan.

Karena kampung kami berbatasan langsung dengan Negara Yahudi, Israel, kondisinya sangat menakutkan dan berbahaya. Peristiwa memilukan sering kami saksikan dengan mata kepala. Beberapa ruas jalan utama setiap hari diblokade oleh Pasukan Israel dengan persenjataan lengkap.

Mereka sering bentrok dengan orang-orang dewasa atau pun anak-anak tanggung Palestina, bahkan dengan anak kecil seusiaku, bentrokan sering memakan korban jiwa.

***
Sebagian besar teman-teman seusiaku sudah tidak mempunyai orang tua, ayah atau ibu mereka tewas akibat kekejaman tentara Israel. Yaitu yang orangtuanya tergabung dalam kelompok-kelompok mujahidin penentang Israel.

Maka itu, aku sangat sayang dan hormat kepada ayah. Beliau tidak banyak berbicara tetapi dari caranya bersikap, aku tahu ia sangat sayang dan selalu melindungi kami. Ibuku, aku dan adikku.

Namaku Jamal, Jamal Ahmad Fayyad. Usiaku sekarang baru 7 tahun. Adikku Fatimah Shafiyah. Ayahku sering dipanggil orang-orang Mister Tailor, nama profesinya.Nama ayah sebenarnya adalah Mohammad Al Fayyad. Ibuku bernama Siti Aisyah Mish’al.

Sering aku membayangkan hidup tanpa seorang ayah, aku paling sedih apabila mendengar cerita tentang teman-temanku yang kehilangan ayahnya karena pertempuran dengan pasukan Israel. Sebagian besar orang dewasa dan remaja memilih bergabung dengan Brigade Al Qassam, sayap militer Hamas yang menguasai seluruh Jalur Gaza.

Hari ini rasanya malas sekali untuk bermain di luar rumah, biasanya menjelang siang setelah pulang sekolah, aku pasti bermain dengan Abbas, Ali, Salam dan Yunus. Kami bermainan layang-layang atau perang-perangan dekat tembok pembatas. Kali ini aku memilih tinggal di rumah, sambil melihat ayah yang asyik sendiri dengan mesin jahitnya. Ibu di kamar mengipasi Fatimah yang tidur kepanasan.

“Jamal, coba kamu ke sini sebentar,” ayah memanggilku.

“Ada apa yah?” tanyaku.

“Temani ayah ke pasar,” katanya sambil merapikan sisa-sisa potongan kain dan menggulung benang yang tidak terpakai.

“Asyik, nanti beliin Jamal mainan yah,” aku berseru kegirangan. Biasanya kalau ke pasar aku minta dibelikan mainan.

“Khan mainanmu masih banyak,” balas ayah memandangku.

Aku menunduk. Benar juga mainanku banyak. Semua mainan disimpan dengan amat rapi oleh ibu dalam sebuah kotak kayu besar.

Selesai sholat Dzhuhur, kami sudah bersiap. Ayah mengambil sehelai Kafiyeh dan dilingkari di kepalanya, mirip Yasser Arafat batinku. Tapi, Yasser Arafat sewaktu masih muda, sewaktu berusia lebih kurang 38 tahun.

“Ayo kita jalan sekarang,” ayah langsung memegang tanganku. Ibu mengantarkan kami sampai di depan pintu dan kemudian menutupnya rapat-rapat.

Jalanan siang ini tidak terlalu ramai oleh lalu lalang orang. Sebagian orang bergerombol di kedai-kedai atau di depan rumah yang berkanopi sambil duduk-duduk ngobrol.

Kami berjalan kaki. Ayah masih menuntunku. Tangannya memegang erat tanganku. Padahal aku ingin tanganku jangan dipegang biar aku bisa jalan sambil berlari-lari atau menendang-nendang batu di jalanan yang berdebu.

Tetapi keinginan itu aku tidak sampaikan. Aku memandang wajahnya, wajah selalu serius. Menyadari aku menatapnya, ayah tersenyum.

“Kenapa lihat-lihat ayah?” tanyanya.

“Ayah keringatan tuh,” balasku. Beliau hanya tersenyum, sambil menyusutkan keringat di dahinya dengan ujung kafiyeh.

“Kamu kepanasan juga ya, nanti di pasar ayah akan belikan jus dingin biar kamu segar,” rayu ayahku. Mungkin ayah pikir aku memandang dia karena kesal diajak jalan ke pasar siang-siang begini. Padahal aku memandanginya karena aku kagum padanya.

Tujuan kami adalah pasar Wahd, pasar yang paling ramai dan lengkap di kawasan Jalur Gaza. Pasar Wahd masih agak jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki seperti ini.

Sesekali tanganku dilepas ayah, kemudian dipegang lagi, tadi tangan kanan, sekarang tangan kiri. Aku senang punya ayah sebaik Mister Tailor ini. Aku tidak akan berpisah dengannya. Aku membutuhkannya. Aku pandangi lagi wajahnya. Ayah, aku sayang ayah, batinku.

***
Tiba-tiba dari arah depan kami, banyak sekali orang-orang berlarian. Aku dan ayah menepi ke atas trotoar jalanan. Sebagian dari yang berlarian itu terlihat berdarah-darah.

Ayah langsung memelukku dan menggendong tubuhku. Ayah mencari celah untuk bersembunyi. Kami akhirnya menemukan sebuah pot bunga besar di atas trotoar jalan.

Teriakan orang-orang menjadi lebih panik. Aku melihat tank-tank tentara Israel sudah mulai mendekat ke arah kami, suara tank-tank itu bergemuruh. Ayah tercekat. Di udara Helikopter serbu tentara Israel meraung-raung.

Di sebelah jalan aku melihat beberapa pejuang sedang berusaha menembakkan roket RPG, aku hafal karena jenis roket tersebut sering kami lihat dipakai oleh para pejuang. Roket RPG diluncurkan ke arah helikopter, tetapi meleset tidak mengenai sasaran. Helikopter Israel malah melancarkan serangan balasan.

Balasan tembakan dari helikopter itu, kemudian berdesing-desing di kuping. Aku menutup mata dan telinga. Ayah semakin merapatkan pelukan, ia berusaha melindungiku di balik pot bunga besar. Beberapa rentetan tembakan membahana membelah siang yang panas. Keadaan sekeliling kami kocar-kacir. Akibat tembakan roket RPG para pejuang, tentara Israel yang menggunakan tank kemudian membombardir jalanan.

Beberapa orang mulai melempar bom-bom Molotov ke arah tank. Pejuang Palestina terdesak di jalanan, aku bahkan melihat tiga tubuh tergolek bersimbah darah. Mereka tidak bergerak. “Ya, Allah tolonglah kami,” pintaku membatin berdoa.

Aku tahu, ayahku bukan penakut. Dia sedang membela dan melindungi aku dari situasi pertempuran ini. Tubuhnya basah oleh keringat. Sekali-kali ia beristigfar dan menyebut asma Allah.

Deru tank-tank Israel semakin terdengar, petanda semakin dekat dengan tempat posisi kami bersembunyi. Tembakan-tembakan mortir juga memekakan telinga. Menghancurkan rumah-rumah dan gedung yang berada di sepanjang jalan menuju pasar.

Suasana hingar bingar mendadak senyap. Ayah dan aku masih berjongkok, bersembunyi di balik pot bunga besar.

Tiba-tiba, ada suara lantang yang berteriak mengagetkan kami.

“Hai, keluar kalian dan angkat tangan!” hardik tentara Israel yang tiba-tiba sudah berada di depan kami.

Ayah tetap memeluk aku. Aku ketakutan luar biasa.

“Lepaskan anak itu!” kali ini tentara Israel sudah berjumlah tiga orang. Berdiri dengan pongah di depan kami, sambil menenteng senapan perang otomatis.

“Ini anak saya, biarkan kami pergi,” teriak ayahku kepada tentara Israel.

“Ngapain kalian di sini?” bentak seorang tentara berkumis tebal.

“Saya mau ke Pasar Wahd, dan kami terjebak dalam pertempuran ini,” jawab ayah tanpa terdengar takut.

“Cepat kalian pergi dari sini!” kata tentara lainnya.

Ayah dengan cekatan memegang aku, untuk pergi. Namun aku sangat curiga dengan perilaku ketiga tentara Israel itu. Mereka bersenjata lengkap, bahkan moncong senjatanya selalu mengarah ke muka kami. Kami diperlakukan layaknya bukan manusia.

Ayah berjalan cepat ke arah jalan menuju rumah kami, tanganku dipegang sangat erat. Ayah berjalan terus memandang ke depan. Aku berjalan sesekali kepalaku melihat-lihat ke belakang.

Ya, Allah! Aku terkesiap, saat aku menoleh ke belakang tiga tentara itu sedang bersiap mengarahkan senjatanya ke arah kami, mereka telah mengokang senjata itu siap untuk menembak ayah.

“Tembak!” perintah seorang dari mereka.

Senjata laras panjang itu menyalak. Dengan refleks aku melepaskan tanganku dari pegangan ayah. Aku berlari ke arah peluru yang sedang meluncur ke arah ayah. Keberanianku muncul, aku tidak mau kehilangan ayah, aku tidak mau ayah meninggal dibunuh tentara Israel!

Berondongan tembakan mengenai seluruh tubuhku. Ayah langsung berteriak memegang tubuhku yang hendak jatuh ke bumi. Aku tidak merasakan apa-apa, saat tubuhku tergolek di pangkuan ayah. Ayah menangis meraung-raung. Aku berusaha memegang wajah ayahku. Tapi tanganku tidak pernah sampai untuk sekadar mengusap wajah ayahku. Aku kemudian melihat sinar yang terang benderang berada tepat di depan mataku.

Aku hanyalah seorang anak yang tidak mau kehilangan seorang ayah. Aku sangat tahu betapa sedih dan perih perasaan teman-temanku yang ditinggal mati oleh ayah. Biarlah aku yang mati. Namaku Jamal Ahmad Fayyad bin Mohammad Al Fayyad. Aku tameng untuk ayahku tercinta***

Oleh : Bamby Cahyadi


salah satu cerpen favorit al karangan mas Bamby cahyadi. hari ini buka imel dan baca imel dari beliau buat nyebarin ne cerpen lagi. sebagai bentuk dukungan untuk saudara2 kita di palestine... sebagai refleksi...
ga ada hentinya untuk mengajak, yookk, ker.. doain rulud2 kita disana. semoga perjuangan mereka dimudahkan...

Comments

Popular posts from this blog

this is how I disappear

tentang PANDA

220.411