Emak



Mak, takbiran, Mak. Riuh sekali suara takbir berkumandang. Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar.. Laailaahaillaallahu Allahu Akbar.. Allahu Akbar walillahilham...
Syahdu sekali rasanya takbir tahun ini, Mak.
Mungkin kau sudah dengar. Hari-hari ini kami direpotkan dengan makhluk Gusti Allah yang suangat kecil tapi mematikan, Mak. Bukan hanya kami, tapi seluruh dunia. Jadi tahun ini kami lebaran tanpa anjangsana, Mak. Tanpa kemana-mana.
Mak, takbiran malam ini kuhabiskan bersama anak-anakku, Mak. Mereka heboh sekali mengajak ke atap jemuran, supaya bisa jelas melihat mercon dan kembang api tradisi lebaran. Tapi sungguh, Mak. Kami malah takjub dengan banyaknya bintang yang tampak di langit yang kata Kinan, cicitmu itu, serupa selimut hitam yang sangat besar.

Mak, selang berapa menit anak-anakku tidur kecapekan. Akhirnya aku sendirian, suamiku ke masjid bayar zakat fitrah dan ikut takbiran, aku mendadak mengenangmu.


Malam takbir begini, aku ingat engkau duduk di kursi kayu tanpa sandaran. Aku dan saudara yang lain sibuk mengelap dinding, menata meja kursi warung, supaya cukup untuk setidaknya 2-3 orang tamu yang besok akan datang bergiliran. Malam takbiran begini engkau duduk tenang. Entah terkenang, entah khusyuk berdoa, entah trenyuh, aku hanya melihatmu diam memandang kedepan. Nanti hingga tengah malam, akan banyak orang datang,biasanya guru ngajiku, menyerahkan zakat mereka buatmu. Aduh, Mak. Mendadak aku kelu. Mengingatmu di momen itu. Lebaran tanpa baju baru, sewek yang itu-itu saja, dan doa syukurmu untuk setiap rezeki yang datang, sembari tak 'eman' membaginya pada kami. Sementara kami dulu mudah sekali mengeluh. Kue lebaran kami tak semeriah tetangga. Tembok kami cukup dicuci karena tak mungkin di cat ulang, terlalu mahal. Baju kami, kadang beli di tukang kredit harian. Kalaupun beli di pasar atau toko, pasti engkau dan ibuk bekerja sangat keras karena ingin bahagiakan kami. 

Mak, bodohnya kami waktu itu. Yang masih tega meminta mukena atau sarung baru. Atau iri dengan kue tetangga. Iri juga dengan sangu lebaran mereka yang bisa buat foya-foya. Beli chiki, atau traktiran limun dan eskrim sepuasnya. Sementara 'penghasilan' kami di hari raya, harus dikumpulkan di Bapak buat beli antena baru, atau perbaiki tv usang kita. 
Alah, Mak. Segitu saja dulu aku ini merasa anak paling menderita sedunia. Mengeluh padamu tiada habisnya. Belum lagi minta dipijat kakiku hingga pulas tertidur padahal engkau yang banting tulang dari pagi hingga petang. 

Mak..
Waktu berjalan, aku yang kemudian sudah bisa bekerja dan punya uang banyak, ingin pulang dan belikan engkau sewek dan kebaya baru. Atau jaket rajutan yang hangat, karena kudengar engkau sering sakit-sakitan. Aku sudah siapkan itu, Mak. Hanya tinggal menunggu beberapa bulan pulang kerumah saat kontrak kerjaku di luar pulau berakhir.
Tapi, Mak. Engkau hadir di mimpiku malam itu. Diam dan hanya tersenyum ke arahku sementara aku ngoceh panjang lebar. Bahwa aku punya kamar sendiri, penuh dengan boneka. Bahwa aku punya pekerjaan bagus. Bahwa aku sudah menyiapkan hadiah untukmu. Bahwa aku pulang sebentar lagi. Bahwa mungkin aku bisa perbaiki rumah supaya kita punya kamar yang layak, tak lagi tidur berhimpitan. 
Engkau tetap diam.  Tenang mengelus kakiku yang memang pernah cedera parah itu. Lalu pergi.
Nyatanya itu serupa pamitmu, Mak. Sehari setelahnya kudengar kabar bahwa engkau pergi ke surga. Remuk sekali hatiku, Mak. Patah hati hingga hari ini.


Belakangan setelah menjadi orangtua, aku seperti tersadar. Dulu pasti banyak keinginanmu yang engkau tahan dan mendahulukan kebutuhan kami. Tak mungkin terkira lelahmu, diantara hari-hari keliling pasar, berjualan, masih engkau sanggup mengurus kami yang bawel. Masih cukup waktumu untuk menyuapi kami yang rewel sekali soal makanan. Terbayang bahwa mungkin engkau yang lapar, tapi selalu kau dahulukan kami. Kalau ada rejeki, selalu kau belikan kami dada ayam, yang menurutmu bagian terbaik dari ayam yang bisa membuat kami cukup gizi, biar jadi pintar katamu. Meskipun itu jelas menguras kantongmu, Mak. Belum lagi susu segar setiap hari untuk kami. 

Alah, Mak.. nyatanya kami tak pintar juga membaca lelahmu. Nyatanya kami tak sadar juga pengorbanan dan kesabaranmu. Kami mengeluh sepanjang waktu, tanpa tahu separuh hidupmu dan waktumu kamu korbankan untuk kami supaya cukup makan dan sekolah.
Emak... 26 juli tahun ini 14 tahun sudah kami tanpamu. Banyak hal terjadi sesuai perkiraanmu, sesuai perkataanmu.
Bahwa yang menanam pasti memanen. Bahwa yang sabar akan menuai buah manisnya kelak. Bahwa yang curang akan jatuh dengan sendirinya jika kita pasrahkan pada Gusti Allah. Karena sesungguhnya hanya Dia yang berhak menghukum, menghakimi, menghadiahi hidayah atau apa saja sekehendakNya.

Mak, hidupmu bermanfaat sekali. Aku tak akan pernah bosan bercerita tentangmu pada anak-anakku, Mak. Supaya mereka tahu, aku dan mereka lahir dari keturunan perempuan hebat serupamu. Dan harus terus mau maju dan berjuang, supaya hidup kami manfaat sepertimu.


Mak, maturnuwun. Jaga Kalinda, buyutmu yang cantik itu. Dia mungkin merepotkanmu dengan tingkahnya yang tak bisa diam. Jaga untuk kami, kelak kita berkumpul di rumah yang kau bangun disana 🤗


Robbighfirlii waliwaalidayya warhamhumma kama robbayanii soghiroo...

Mei, 2020




Comments

Popular posts from this blog

this is how I disappear

gerhana matahari

Ndleming