langitku...

Ahh.. tentang langit itu, aku sudah lama bilang, kalau aku adalah pecandu karpet hidup nan indah itu. Tak peduli mendung, atau sedang cerah2nya tersenyum, biru, atau kelabu, ku tetap bisa menemukan kedamaian dari luas hamparannya. Seakan tiada batas, tiada sekat, dan penuh dengan makhluk2 Tuhan yang tak kalah menariknya. Bulan, bintang, matahari, awan, sesekali pelangi, dan bintang jatuh. Nama yang terakhir kerap menjadi lambang harapan katanya. Bagiku sendiri, dia adalah bonus, another nice surprise buatku, yang bisa dinikmati keindahannya meski sekejap, bukan pengabul jawaban dan keinginan. Dia hanya makhluk, sebatas simbol penguat sugesti...

Menelusuri setiap jengkal keindahan langit, adalah waktu2 yang sangat berharga bagiku. Dulu sekali, aku terbiasa duduk diatas jendela kamarku, memandangnya tanpa bosan sama sekali. Kadang ditemani nyala redup lilin, kadang harus sedikit memicingkan mata bila matahari cemburu pada langit.
Lalu sedikit berkhayal, menuliskan namaku di hamparan luasnya dengan ujung jari, dan berdoa untuk sebuah nama lain. Entah siapa... nama yang nantinya akan kukagumi setiap jengkal tubuhnya seperti kekagumanku terhadap langit. Kunikmati setiap isi hatinya seperti seekor panda yang rakus melahap daun2 bambu hijau... kucintai sebagai wujud syukurku atas kemurahan Dzat yang membuatku mampu menikmati setiap indah ciptaanNya...

Aku akan lama sekali menghabiskan waktu dijendela itu. Kadang hingga bokongku mengeras, panas, berganti posisi duduk hingga jongkok ratusan kali. Tapi aku akan tetap disitu. Seakan tak rela jika mataku kehilangan pancaran indah sang langit.

Secangkir kopi atau susu, semangkok mie instant, kadang rela menemaniku menatap langit. Apalagi jika sang awan mulai menurunkan berat tubuhnya menjadi tetesan air nan tak kalah indahnya. Jendela itu akan tetap kubuka, membiarkan angin dan air menjamah kakiku yang telanjang, mataku tetap terfokus pada langit yang menghitam, sambil mulutku sibuk mencerna makanan yang katanya tak sehat itu...
Tak sehat itu, karna dia hanya berupa mie yang sangat sederhana, atau karena instantnya? Entah, buatku sama saja. Dia membantuku merasa nyaman menikmati sang langit. Makanan paling praktis yang bisa kusuguhkan untuk mulutku yang kadang sariawan dan butuh banyak kuah untuk membantu menelan. Terutama kalau radang tenggorokanku juga mulai kumat...

Lalu?
Ya, lalu?
Tidak, itu hanya cerita dulu. Dulu sekali ketika kumasih ingusan (sekarang tetap beringus, tapi mulai bisa mengelapnya dengan tissue, bukan tangan, agar dibilang sudah dewasa.)
Sekarang? Masih sama. Aku masih menatap langit. Kali ini, ada siluet 3 pohon kelapa, bulan purnama, angin yang sangat pelan seakan malu, bayangan2 gelap gedung2 diseberang jalan, dan dia, nama itu. Nama yang pernah kudoakan dulu sekali itu. Aku sudah berhasil tau namanya. Aku sudah membalikkan langkahku menuju separuh perjalanan ke hatinya. Dan aku sudah berbagi warna yang serupa dari masing2 langit kami. Dia sedang menatapku, begitupun aku. Iya, dia langitku sekarang... :)

Langit yang kudapati sedang lirih bernyanyi, yang kelak akan selalu kudengar disetiap kedekatannya denganku. Atau kala dia meredam marahku...

“meski tak seindah yang kau mau
Tak seperti cinta, yang semestinya
Namun aku mencintaimu
Sungguh, mencintaimu” –naff-



011109, somewhere only we knows

Comments

Popular posts from this blog

this is how I disappear

gerhana matahari

Ndleming