sekolah??

Sore itu seperti biasa saya lewatkan dengan menonton siaran berita sebuah TV Swasta…
Miris sungguh. Berita kali ini tentang sebuah sekolah SMA yang diserang oleh murid2nya sendiri karena mereka tidak lulus ujian. Bayangkan saja, dari 281 siswa yang mengikuti ujian nasional, hanya 1 siswa yang dinyatakan lulus. Mereka pun berang. Melempari ruang2 tempat belajar mereka dengan batu. Lagi-lagi saya berpikir, kapan Indonesia bisa lebih dewasa, menyelesaikan sesuatu tanpa aksi anarkis?
Lalu dimana fungsi kontrol guru dan orangtua?
Belum lagi aksi konvoi sepeda motor di jalanan yang sudah seperti ritual para pelajar itu. Kesan yang bisa saya tangkap, sekolah seperti menjadi sebuah penjara, yang ketika mereka terbebas –dinyatakan dengan lulus UAN-, maka menjadi seheboh itu pesta pelulusan mereka.
Oalah, dhek...

Saya cuma bisa nepuk dada memang –tentu saja dada saya sendiri-
Jaman saya sekolah kok ga seheboh itu ya? Saya sekolah juga aras-arasen. Boleh dicek pada temen2 sekolah saya, jumlah bolos saya pasti ga terhitung. Dari seluruh penilaian mata pelajaran, cuma kerajinan yang dapat nilai C. Tapi begitu dinyatakan lulus, biasa2 aja tuh. Tetep anteng –iyo, soale pas pelulusan, lagi ga bisa jalan coz patah tulang kaki. Hakz-



Saya jadi ingat pada Dudu, ponakan saya itu. Jyaan susah banged disuruh masuk TK waktu itu. Si Ibunya bilang, “Ayo sekolah, biar pinter.”
Dia dengan enteng menjawab, “aku wes pinter berhitung.” Dan memang begitulah kenyataannya.
Semua orang, termasuk saya, berusaha dengan cara masing2 untuk membujuk Dudu. Dari bujuk rayu sampe janji2 model orang2 politik sudah terlontar. Tapi hasilnya sama. EMOH SEKOLAH!!
Pada akhirnya keputusan dia itu berubah 180 derajat setelah sang Kakek, Bapak saya bilang.
“Sekolah o, Le. Cek akeh koncoe. Ga ndek omah tok. Enak, dolen2 rame2 karo koncoe. Ketemu Bu Guru.”
Simpel. Taktis. Dan berhasil. Dan memang itu fungsi sekolah sesungguhnya. Menambah wawasan, memperluas cara pandang dan pola pikir, serta meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan.

Saya lalu juga teringat pada seorang tetangga yang ingin memotivasi anaknya biar rajin sekolah. katanya, “Ageh, nduk. Sekolah sing sregep. Biar nanti kalo sudah gede bisa kaya Mbak Al iku. Sekolah pinter, kerjone penak. Tuku opo-opo ga perlu njaluk bapak atau ibuknya.”
Dan si anak tersenyum melihat saya. Andai saja itu bukan sebuah motivasi, pasti sudah saya cegah si Ibu ngomong begitu. Sekolah buat saya bukan mutlak menjamin kemudahan seseorang dalam mencari pekerjaan.
Sekolah itu penting, tapi bukan mutlak. Hingga tak ada alasan jika tidak lulus bisa seenaknya sendiri menghancurkan bangunan sekolah. Sekolah itu penting, tapi bukan mutlak. Hingga bukan sebuah alibi untuk bisa menjadi bos bergelar sarjana yang membodohi anak buahnya yang lulusan SMA. Sekolah itu penting, tapi bukan mutlak. Hingga tak ada lagi alasan2 takut gagal ujian untuk kemudian menghalalkan pencurian soal2 ujian nasional. Sekolah itu penting, tapi bukan mutlak. Hingga terdengar aneh bagi saya jika ada aksi bunuh diri gara2 tak diterima UMPTN. Sekolah itu penting, tapi bukan mutlak. Bikin saya ngakak mendengar orangtua menganjurkan anak2nya pergi ke dukun, diruwat, dan meminum jampi2 kembang tujuh rupa tujuh sumur itu....
Sekolah itu penting, tapi bukan mutlak. Penting, tapi bukan super segalanya. Hidup masih boleh terus berjalan meskipun tak lulus ujian. Percaya kemampuan diri, itu yang lebih penting. Percaya pada pencapaian tujuan, itu yang lebih penting. Lulus, atau tidak lulus, akan menjadi sama nilainya jika tidak dibarengi usaha untuk terus meningkatkan kualitas hidup.
Bukan hanya anak didik saja yang harus berpikir dewasa, tetapi para pendidik, orangtua, orang2 disekitar lingkungan anak juga dituntut untuk berpikir bijak.
Bukan mutlak kesalahan anak jika tak lulus ujian. Negara, sekolah, guru, orangtua, keluarga dan orang2 disekitarnya bertanggung jawab atas hal itu. Memberikan motivasi yang positif, tidak memberikan ancaman dan teror (lek ga sekolah kate dadi opo koen? Sekolah kok pancet goblok? Nggilani nilaimu abang kabeh? Arek kok ga pinter-pinter?) itu wajib hukumnya untuk membentuk mental anak yang lebih tangguh dan tidak takut gagal. Selalu ada Plan B jika Plan A gagal dilaksanakan. Seharusnya kesanalah mental para pelajar diarahkan. Saya bukan pendidik yang berkualitas, saya juga belum menjadi orangtua. Saya hanya buruh pabrik biasa yang pernah menjadi seorang siswa, dan menjadi anak nomer tiga yang merasa gagal membahagiakan orangtua. Tapi bukan aksi anarkis yang saya lakukan saat nilai matematika saya nol besar. Juga bukan bunuh diri saat saya gagal menjadi juara di lomba marathon jaman SD dulu, meski sangat dijagokan.
Semua karena dukungan orangtua, guru, keluarga, dan orang2 disekitar saya yang terus bersemangat positif. Mari bersekolah, mari bijaksana....

*gambar diambil dari hasil gugling*

Comments

Popular posts from this blog

this is how I disappear

gerhana matahari

Ndleming