Masa Depan?
Manusia akan tersesat ketika dia tidak tahu kemana arah yang ingin ditujunya.
Itu katamu padaku dulu. Dan aku kini memang
tersesat. Tepat disaat aku ingin kembali pada sebuah waktu yang kita sebut masa
lalu. Aku berharap menemukanmu disana, menungguku. Di sebuah kursi bercat
putih. Dengan tangan sibuk membalik halaman demi halaman Rectoverso. Secangkir
cappuccino di meja sebelahmu. Kacamata yang agak melorot dari hidungmu yang
memang tak mancung. Sedikit kernyitan di dahi menandakan ada kata-kata di buku
itu yang menggugah hatimu.
Dan aku akan dengan riang duduk di kursi di
sisimu yang lain. Bertanya mengapa lama sekali kamu membaca buku yang kubeli
khusus untukmu itu. Tepat saat kamu bercerita sangat suka dengan karya Dee
Lestari. Lalu kamu akan menoleh sebentar, tersenyum, kemudian menutup buku dan
beralih memandangku.
Lalu, seperti yang sudah-sudah, kamu dan
aku akan berbagi secangkir cappuccino itu. Aku mulai mengeluh tentang penatnya
hari. Dan kamu akan beralih mengambil kamera yang selalu sedia di dalam tasmu.
“Sini, kufoto dulu wajah cemberutmu.”
Katamu
Dan aku pasti gagal untuk cemberut. Kembali
tertawa riang, dan mulai berpose. Kamu akan mengejarku kemanapun aku berpindah objek.
Batu besar, rumput ilalang, pohon pinus, gubuk sawah. Kita berdua akan terlena
hingga senja turun dengan tergesa.
Aku berharap menemukan itu sekali lagi
disini. Tapi kamu tak ada. Hanya ada kursi putih itu. Hanya ada batu besar,
rumput ilalang, pohon pinus, gubuk sawah tempat kita menghabiskan berpuluh rol
film. Dan aku benar-benar merasa tersesat.
“Apa yang kamu cari?” katamu terakhir kali
saat aku memutuskan pergi.
“Entahlah. Aku hanya merasa kita tak akan
pernah bisa sampai di tujuan. Tujuanmu, tujuanku, berbeda.
Bagaimana kita akan
sampai. Aku terlalu takut dengan masa depanku.”
“Manusia akan tersesat ketika dia tidak
tahu kemana arah yang ingin ditujunya.” Lanjutmu.
“Aku tahu. Aku mengerti. Justru karena itu
aku merasa harus pergi. Sudah lama bukan kita membahas ini. Semua orang bicara
tentang takdir: bahwa jika dua orang ditakdirkan untuk bersama, mereka akan
bersatu juga pada akhirnya. Tetapi takdir—seperti semua hal yang ada di dunia
ini, bisa jadi hanya sementara. Kita perlu bertanya dan mempersiapkan diri:
seberapa lama kita ditakdirkan untuk bersama?
Bahwa kadang, bersama belum tentu membuat
bahagia. Bersama hanyalah sebuah usaha untuk menguatkan dan mempersiapkan diri
untuk kembali menjadi sendiri. Cepat atau lambat. Kamu atau aku yang pergi.”
“Kalau begitu, bukankah kita bisa tetap
bersama sembari menunggu kesendirian itu. Bukankah kita bisa menunggu dengan
membaca buku, menikmati secangkir cappuccino, pergi ke pantai, mencari objek
foto yang menarik, berburu barang antik di pasar seni, bersenang-senang
diantaranya riuhnya pasar malam. Kita bisa tetap bahagia, Din.”
“Buat apa kita berpura-pura bahagia jika
pada akhirnya takdir berkata kita harus sendiri lagi nantinya.” Keluhku.
“Takdir, juga bisa menjelma jadi
serangkaian pelajaran berharga. Bersama belum tentu membawa bahagia,
katamu. Mungkin kebersamaan membawa air mata atau sakit hati. Tetapi setidaknya
kita belajar. Bahwa kita ditakdirkan untuk belajar dari satu sama lain. Mungkin
kita ditakdirkan untuk bersatu lalu berpisah lagi, ketika masing-masing sudah
cukup belajar dan bisa berdiri sendiri-sendiri.”
Aku terdiam. Kamu berkata lagi,
“Tapi buat apa juga kita memikirkan
kesedihan yang belum pasti terjadi. Siapa yang bisa memastikan kita tidak akan
berpisah. Pun siapa yang bisa memastikan kita akan berdua sepanjang hayat. Kita
hanya perlu menjalani, kurasa. Sedih atau senangnya, itulah proses yang membuat
hidup kita lebih bernilai.”
Kamu melanjutkan, “Tuhan memang menciptakan
takdir yang pasti terjadi. Tetapi Dia juga menganugerahkan keyakinan, yang bisa
menuntun kita untuk menyelesaikan takdir. Bahwa Tuhan memberikan kita sesuatu,
ketika kita telah bersiap menerima. See, artinya kita hanya perlu bersiap.
Entah bersiap untuk sedih atau bahagia. We just have to deal with it. Ini hanya
masalah percaya.” Katamu dengan nada yang tetap bijak. Membuatku tergoda untuk
mempercayai setiap kata-katamu.
Tapi aku tetap melangkah pergi darimu kala
itu. Entah apa yang kuharap. Entah apa yang kucari. Aku terus saja berlari
mengejar bahagia yang kuingin.
Bertahun berlalu sejak hari itu. Hanya satu
kesadaran yang aku dapat. Selama pencarian itu aku hanya merasa sedih, takut,
marah, kecewa, dan makin terpuruk. Berbeda saat denganmu. Dan ketika aku
menyadari semuanya, aku hanya menemukan kursi putih itu. Hanya ada batu besar,
rumput ilalang, pohon pinus, gubuk sawah tempat kita menghabiskan berpuluh rol
film. Dan aku benar-benar merasa tersesat dalam masa lalu yang kuharap bisa
menjadi masa depanku. Bisakah kamu kembali? Aku tak ingin takut lagi dengan
masa depanku. Aku hanya ingin menjalaninya bersamamu. Bisakah?
*pengembangan dari obrolan dengan seorang
kawan. Siapa yang bisa memastikan masa depan? :)*
Nice info keep posted... jogjacar.com rental mobil jogja
ReplyDelete