racauan

Ada kalanya kita memang dipaksa untuk menyadari. Bahwa yang kita perlu hanya menjalani. Sekedar menjalani apa-apa saja peran dalam hidup ini. Sebagai ibu dengan segala kerepotannya memanajeri ini itu, dengan anak-anak yang mendadak tumbuh besar lalu sibuk bertanya ini itu setiap waktu, dan kita gagap karenanya. Sebagai anak dengan segala ketakutannya pada kebersamaan dengan orangtua yang mungkin tak akan lama lagi sementara kita belum mampu berbuat lebih untuk mereka. Sebagai istri dengan kecemasannya pada masa depan bersama keluarga kecilnya, bersama lelaki yang kadang jadi sulit dimengerti. Sebagai saudara, adik, kakak dengan berbagai masalah dan kegembiraan yang menyertai, yang kerapkali dibikin mumet dengan ulah-ulah ajaib mereka, atau kadang terkagum dengan pilihan yang mereka ambil.

Seringkali kita dibuat pusing dengan begitu banyak peran dalam hidup. Belum lagi ketika dituntut juga untuk menjadi teman, sahabat, atau lebih dalam, sebagai Hamba.
Tetapi sebagaimana kesadaran untuk tetap menjalani hidup itu, tumbuh pula kesadaran lain dalam diri. Bahwa ternyata semua hal yang kita jalani sudah diatur dan dibuat dengan demikian sempurna. Bahkan pada hal-hal yang sering kita kira adalah kebetulan, semua tentu sudah diperhitungkan dengan matang. Dengan indahnya hingga sering kita terbuai, tak mampu membedakan mana jerat setan, mana jalan sunyi menuju Tuhan.
Kesadaran untuk tak lupa berpasrah, menjadi jalan tengah bagi segala gundah ketika lelah datang saat dihadapkan pada pilihan-pilihan. Berpasrah dengan serendah-rendahnya kepala memuja kekuatan Maha Kuasa, bahwa hanya dengan kuasaNya saja kita mampu memilih mana yang baik untuk kita jalani, setidaknya yang mampu menyambungkan langkah menuju jalan besar tujuan hidup, untuk saat ini. Dengan kesadaran penuh sebagai hamba, tiada arti tanpa bimbinganNya. Dan kerendahatian untuk memandang detil pada diri sendiri, alih-alih menuntut segala hal yang berlebihan.

Sebagai Yang Maha Kuasa, tentu Beliau lebih paham mana yang menjadi kebutuhan kita, mana juga yang sekedar keinginan, bahkan sekedar nafsu duniawi. Masihkah kita pongah mengira kita mampu selesaikan semua babak dengan cumlaude tanpa adanya campur tangan Sang Kuasa dalam tiap detik drama ini?
Bisa dibilang, jika miskin, terhina, hidup seadanya, tak bisa berbuat lebih, atau segala keresahan hidup itu jelas mudah untuk kita taklukkan. Karena Gusti Allah tak pernah memberi nasi pada piring kita dengan porsi yang berlebihan. Segalanya sesuai porsi diri dan kemampuan kita mencari solusi. Yang menyedihkan itu adalah saat kita mengira sendirian saja. Merasa hanya kita yang paling menderita serupa Hamdan ATT sebagai lelaki termiskin di dunia 😁

Merasa sendiri menuntunmu untuk berputus asa. Melakukan hal-hal konyol yang tak mampu lagi dinalar dengan nurani.
Jadi jangan pernah lagi merasa sendiri. Jangan hilang keyakinan. Setidaknya kalau sudah membaca tulisan ini, anda pasti paham penulisnya juga sedang galau refleksi diri tak terkira hinggga meracau tiap waktu. Haha... 

Sudah, jangan terlalu dipercaya. Ini hanya tulisan sang galauers yang sedang lapar. Mari makan, mumpung soto ini masih hangat :)

Comments

Popular posts from this blog

this is how I disappear

gerhana matahari

Ndleming