hikayat


Mama terengah-engah mengisahkan cerita favoritnya, tentang sesal di ranjang ajal. Dalam hati aku jadi bertanya-tanya, apakah dia sedang berkisah tentang dirinya sendiri.
Begini cerita Mama :
“Nenek tua sakit keras, terbaring di ranjang. Cucunya sabar menjaga. Si Nenek gelisah. Kepalanya tak henti menoleh ke kiri ke kanan. Dia tak siap menyambut Sang Maut. Air mata menetes melintasi pipinya yang sudah kempot. Dia bercerita, itu hari bahagia, dia masih muda, diundang ke pesta meriah orang kaya di kampung, dia tak pernah lihat kemewahan seperti itu. Pilar-pilar emas. Ayam panggang. Babi guling. Anggur merah. Tetamu berjubah sutra bersulam benang berkilau.’
‘Bukannya bagus? Mengapa Nenek sedih?’ tanya cucunya.
‘Kalau ingat, aku jadi marah. Ada satu bola daging begitu lezat tersisa di piring besar di atas meja panjang. Aku tak sempat memakannya.’
‘Kenapa tidak sempat? Kalau ingin makan kan tinggal disumpit saja.’
‘Di  sumpitku sudah ada bola daging lain.’
‘Gampang. Yang disumpit itu ditaruh dulu ke dalam mangkuk.’
‘Tapi di mangkukku sudah ada dua.’
‘Nah, yang di mangkuk itu dimasukkan dulu ke mulut.’
‘Tapi di dalam mulutku masih ada satu.’
‘Ya ditelan dulu,’ si Cucu menganjurkan.
‘Di perutku sudah penuh lima biji. Aku tak sanggup menelan, masih ada satu lagi yang tersangkut di tenggorokan.’
Si Nenek menyongsong Maut dengan menyisakan kecewa, akan sebuah bola daging yang tergeletak di pinggan di meja besar. Matanya terpejam, tapi rohnya penasaran.

(hal. 159-160, Titik Nol : Makna Sebuah Perjalanan, Agustinus Wibowo, 2013)

Hari ini, saya merasa menjadi si Nenek Tua. Tak puas dengan apa yang digenggam, masih menyesali apa yang jauh dari pandangan. Bahkan hingga ajal tiba... Naudzubillah.. 🙃

Sungguh menyedihkan. Betapa sering kita menyesali satu yang hilang dan lupa bersyukur tentang sembilan yang tinggal.. 

#nyuplikbuku #sinaubuku #mustreadbook

Comments

Popular posts from this blog

this is how I disappear

gerhana matahari

Ndleming