masih side B

Aku sambung cerita pada saat aku mulai bersekolah. Ibuku menjahit baju seragam koyak bekas kakak perempuanku yang sudah berhenti sekolah. Katanya ini waktuku untuk menggunakan otak. Mendengarkan guru-guru berceloteh tentang teori kehidupan. Sembari mengenakan seragam lucu penuh tambalan. Iya itu aku. Yang hampir tak pernah bisa menatap lurus kedepan. Terus menunduk memandang ujung sepatu yang usang. Lemnya habis, kainnya ndredet. Ujung kakiku menyembul dari baliknya.


Tuhan, ini apa. Tanyaku menahan tangis diam-diam.
Jalani saja. Nanti Waktu akan bantu jelaskan.
Waktu itu apa? Siapa? Lanjutku bertanya


Tapi tak lagi kudengar jawaban. Jadi aku berjalan menuju sekolah. Berjalan kaki hampir lima kilo jauhnya. Dari subuh aku berangkat, sampai disana badanku penuh keringat. Aku tak pernah peduli tatapan teman dan guru. Yang aku tahu hanya pesan Ibu. Untuk menggunakan otak. Dan jangan pernah teracuni dengan teori bodoh buatan manusia. Yakini bahwa melihat itu dengan hati. Menulis itu dengan hati. Belajar itu dengan hati. Tertawa itu dengan hati. Menangis itu dengan hati. Terluka pun tentu saja dengan hati. Dengan hati kamu tak pernah merasakan kepalsuan. Meski buta matamu, meski tuli pendengaranmu, meski kelu lidahmu.

image by googling

Aku lulus sekolah dengan cepat. Semata bukan karena aku pintar. Tetapi guru dan temanku mudah jenuh padaku hingga cepat-cepat aku diluluskan paksa.

‘terlalu banyak pertanyaan!’ ucap guruku suatu kali saat aku mengacungkan tangan di sesi tanya jawab.

‘Ada saat untuk kritis, ada saat untuk lebih baik diam, Nay.’ Begitu kata guru BK yang hadir tiap saat di sesi konselingku. Senin dan jumat waktuku untuk berkonsultasi, sesuai jadwal dari Kepala sekolah yang menganggapku gampang berulah.

Aku memilih bungkam. Bukan karena aku tak setuju. Semata karena aku tahu dia hanya menjalankan tugasnya, dan hampir tak peduli apa yang kurasa. Jadi aku mudahkan saja jalannya. Hadir rutin 2x seminggu tepat waktu.
Aku tak merasakan hasilnya. Mungkin guru BK juga. Hingga cepat-cepat beliau bikin laporan yang belakangan aku tahu isi laporan itu adalah : sudah melaksanakan terapi kejiwaan dengan nilai ‘masih normal’
Baru aku tahu bahwa diam itu adalah ‘masih normal’


Dan begitulah kulalui masa-masa sekolah dengan singkat. Aku takut baju seragamku tak tahan menunggu bertahun-tahun hingga koyak ditengah-tengah pelajaran. Tiap hari aku penuh dengan ketakutan. Dan makin menjadi ketika sebuah kabar tetiba datang dari teman-teman kampungku

‘Noy diculik waktu, Nay’

Aku menggigil. Dan makin bungkam bertahun-tahun lamanya sejak hari itu. Hingga hari dimana aku bertemu kamu.


Masih ingin kau mendengarkan Banjaran Naya ini?


nay,-

Comments

Popular posts from this blog

this is how I disappear

gerhana matahari

Ndleming