menjadi orang-tua


Menjadi orangtua, salah satu yang tidak boleh terlupa adalah kemampuan anak-anak menyerap dan memahami banyak informasi justru di di usia awal mereka. Orang bilang ini golden age, antara 0-3 tahun, ada yang menyebut 0-5 tahun. Pun ada yang berpendapat bahkan dimulai sejak berupa janin, kira-kira umur 3-4 bulan kehamilan.
Momen-momen ini menjadi saat dimana banyak hal disimpan dalam memori mereka untuk nantinya dipakai ketika mereka menghadapi situasi yang membutuhkan ingatan tersebut.

Maka, ketika hamil, banyak bidan dan profesional yang menyarankan untuk mengajak janin berbicara. Baik bapak maupun ibunya. Mengajak mereka berinteraksi layaknya memang mereka sudah hadir di depan mata dan mampu memahami apa yang kita ucap. Begitupun ketika mereka lahir. Bayi bukan objek yang hanya diam menerima, tetapi dia menyerap banyak hal. Mengenali sentuhan, suara, kata, dan terus berlanjut pada hal-hal yang makin kompleks hingga usai masa pertumbuhannya.

Maka kita mengenal sekolah bayi, bahkan dimulai ketika anak belum bisa bicara, berdiri, duduk dan berjalan dengan benar. Kebanyakan sekolah seperti ini ditujukan pada orangtuanya. Bagaimana cara menstimulasi bayi dengan benar hingga kemampuan otak dan fisiknya lebih maksimal. Bagaimana berinteraksi dengan benar agar setidaknya banyak hal baik yang terserap ketimbang hal buruk.
Ketika balita pun, makin banyak sekolah-sekolah yang lazim kita sebut pendidikan usia dini, dimana hakikatnya dalam masa ini lebih banyak permainan yang merangsang saraf anak dilakukan. Belajar sambil bermain, atau bermain sambil belajar? Pro kontra masih terus terjadi. Saya sendiri termasuk orangtua yang memilih anak-anak tetap dirumah bersama saya di usia bawah 5 tahun. Bukan apa-apa, semata pertimbangan pribadi saya yang mengurus anak kembar ini hanya bersama suami.

Sejatinya, dalam pemikiran saya, yang terpenting dari ‘pendidikan’ anak ini ya kemampuan kita sendiri sebagai orangtua untuk bisa memahami anak masing-masing. Mau memakai metode parenting model apa saja, ujung-ujungnya kita yang harus mampu menyelami karakter dan watak anak-anak kita sendiri. Namanya anak, sedikit banyak ya sifat dan wataknya menurun dari kita kan? Jadi, selama menjadi orangtua, saya lebih sering seperti bercermin dari mereka tentang bagaimana saya dulu dan juga suami. Hasil akhirnya, malah saya jadi jauh lebih mudah mengenali diri sendiri dan juga suami :D
Kelanjutannya, ya saya jadi lebih memahami juga apa sebenarnya yang diinginkan anak-anak. Ini bukannya mudah, karena Kidung Kinanthi bukan anak yang gampang mengungkapkan apa yang menjadi keinginannya (sifat Emak bangeeddd!!). seringkali saya menebak-nebak, lalu kembali lagi, kalo saya jadi mereka, kira-kira apa ya yang saya inginkan... dan begitulah hari-hari saya lalui hingga 4 tahun tak terasa sudah menjadi orangtua :D

Dari awal pernikahan, kami menyadari, menjadi orangtua adalah naluri yang sudah ‘gawan lair’, hanya kita mampu untuk merasakannya atau tidak. Menjadi orangtua bukan semacam ilmu yang harus dipelajari di kelas dengan kurikulum dan teori dengan buku-buku tebal yang harus dihafal. Tetapi kita hidup di jaman dimana teknologi makin berkembang. Dimana hubungan orangtua dan anak kembali harus dipelajari. Dimana silaturahmi menjadi hal yang langka bahkan dengan tetangga sebelah rumah pun kita kadang tak tahu apa profesinya. Kita hidup di dalam jaman kotak-kotak. Ada pemahaman bahwa apa yang dilakukan orangtua kita jaman dulu harus diupgrade, banyak salahnya timbang benarnya. Banyak hal-hal kuno berbau mitos yang bikin kita salah kaprah dalam mendidik anak. Bagi saya pribadi, semua ya harus disesuaikan dengan jaman juga. Kita perlu menjadi orangtua yang dinamis. Kapan bisa meniru yang dulu orangtua kita lakukan, kapan teori parenting terbaru bisa kita aplikasikan. Tak ada metode parenting paling sempurna tanpa dibarengi kemampuan orangtua masing-masing untuk mengenali masing-masing buah hatinya.
Bahkan hari ini gencar sekali gerakan sadar ASI dipromosikan. Coba tanya pada mbah dan ibu kita dulu, dengan tersenyum mereka bilang ‘menjadi ibu ya pasti menyusui. Dengan air susunya sendiri, atau bantuan orang lain jika memang tak memungkinkan untuk menyusui.’ Ini teori lama, dari jaman mbah buyut yang paling buyut sudah dilakukan, dan hari ini kembali digencarkan. Bahkan dijadikan kelas menyusui dengan pembicara praktisi-praktisi dengan sederet gelar. Hal itu tak lain dan tak bukan karena hari ini kita terus dibombardir dengan produk-produk praktis bikinan manusia. Dengan segala tujuan yang menyertai. Maka ibu-ibu terpecah. Pro dan kontra. Itu hanya dari satu kasus susu bayi saja. Belum lagi yang lain. Maka wajar ibu dan bapak jaman ‘now’ butuh wadah untuk kembali belajar menjadi orangtua. Butuh komunitas untuk menguatkan langkah menghadapi modernisasi yang makin futuristik. Segalanya serba otomatis. Dan tidak semua calon orangtua dibekali dengan masa kecil yang ‘indah dan bahagia’. Yang dididik dari keluarga utuh atau dengan orangtuanya sendiri. Yang bisa menyadari ‘naluri’nya sendiri saat menjadi orangtua. Maka kira-kira itulah fungsi sekolah ibu hadir. Dan saya yang tidak ikut sekolah itupun tidak menjadi kontra juga. Semua punya persepsi masing-masing. Yang penting kan tujuannya ya ingin anak-anak mendapat yang terbaik sejak awal tahap kehidupannya J

Yang terpenting bahwa tujuan untuk setiap anak berhak mendapat kasih dan sayang terbaik dalam kehidupannya tercapai.
Wong kami sendiri ini masih orangtua yang unyu-unyu. Masih gratal-gratul dalam pengasuhan anak. Sekedar naluri saja kadang memang tidak cukup. Saya harus kembali lagi, banyak berdiskusi dengan ibu saya, melihat lebih detil lagi pada masa lalu saya dan suami dengan bantuan foto serta kenangan2 jaman kecil. Kami juga jadi sering mengamati masing-masing keluarga besar kami. Bagaimana anak ponakan kami dibesarkan, dididik seperti apa dan hasilnya bagaimana. Mungkin karena itu kami suka sekali kalau ada acara keluarga besar. Kumpul bareng dan otomatis berdiskusi bareng tentang banyak hal. Setidaknya saya juga ingin Kidung Kinanthi tidak hanya berpikir bahwa orangtua hanyalah saya dan bapaknya. Tetapi orangtua adalah orang yang lebih ‘senior’ baik dari segi umur, ilmu, pemahaman. Teman sebaya yang lebih paham soal permainan apa yang asyik bisa dibilang adalah orangtua, tempat mereka belajar menjadi kawan yang asyik. Begitupun pada bayi-bayi lucu, yang dengan mudah membuat orang tertawa dan bahagia, mereka juga bisa menganggapnya orangtua, tempat belajar menjadi pribadi yang menyenangkan. Semata karena dari cara belajar yang seperti itu kami ini belajar menjadi orangtua. Belajar dari siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Kami mengumpulkan, mengoleksi memori lalu menulis, seperti hari ini, semata agar kelak kala lupa, kami bisa kembali mengingat lewat tulisan dan segala dokumentasi yang kami lakukan.

Berangkat dari itu,hari ini kami sharing apa saja dengan mereka. Dari urusan uang hingga menstruasi. Dari buku donal bebek hingga petualangan agustinus wibowo. Dari sketsa lucu hewan hingga kaligrafi. Dari Kartolo hingga Mbah Nun. Dari cara makan hingga cara memilih bahan masakan yang bagus. Apa saja yang ingin mereka tahu, kami bagi dan kami pelajari bersama. Kadang, tak selalu pertanyaan mereka bisa kami jawab. Mungkin nanti jawabannya baru kami temukan bersama 1 tahun, 10 tahun lagi? Atau justru mereka yang lebih dulu tahu jawabannya. Who knows?

Misalnya saja Kinan pernah bertanya
‘Buk, masjid kan rumah Allah. Tapi tiap aku ngaji di masjid, aku kok ga pernah ketemu Allah? Allah singitan (sembunyi, red)? Why?’
Saya hanya singkat menjawab, cenderung balik bertanya sih ‘kira-kira dimana?’
Mereka menebak-nebak. ‘Di jendela? Di pintu? Di genteng? Kan lek berdoa selalu hadap atas’
‘Kalau tempatnya disitu, pasti wes ketemu dong Allahnya...’
‘hmm...iyo yo, Buk.. ngkok tak goleki maneh wes (nanti aku cari lagi deh, red). Dimana sembunyi...’
:D
Sungguh, dengan cara ini kami menikmati sekali hidup bareng bersama bocah 4 tahun ini. Tak selalu memposisikan diri sebagai orangtua, tetapi juga teman, bahkan seringkali ganti kami yang bertanya pada mereka. Adapun pada aturan-aturan semacam disiplin waktu, hormat pada yang lebih tua, sayang pada yang lebih muda, termasuk mengurus segala keperluan mereka sendiri, sudah kami tanamkan sejak mereka bisa mengatur langkah kakinya sendiri. Jam berapa harus tidur siang, jam berapa harus mandi, berapa kali makan, bagaimana cara mandi, baju apa yang pantas dipakai saat siang atau malam, apa yang harus dilakukan usai makan, mandi, lalu doa apa yang harus diucap sebelum dan sesudah beraktivitas, kebanyakan kami lakukan dari diri kami sendiri dulu, untuk kemudian mereka mengikuti. Bisa dibilang, sejak punya anak, banyak hal yang berubah dalam hidup kami. Termasuk cara berpikir dan mengenali diri sendiri. Bukankah anak-anak, adalah mesin fotokopi paling detil yang Tuhan ciptakan? J

Kami tak pernah menganggap bahwa mereka anak kecil hingga belum perlu untuk membawa piring makan mereka sendiri ke tempat cucian misalnya. Atau perlu ikut membantu membersihkan kamar saat bangun tidur. Semua hal yang bisa mereka lakukan, ya lakukan. Sempurna atau tidak itu urusan waktu. Kami hanya berusaha menumbuhkan daily habbit. Dimana banyak orangtua telat menyadari, menunggu mereka besar baru mengajari ini itu sudah terlalu terlambat untuk membuat anak-anak bisa membedakan mana urusan yang bisa mereka atasi sendiri, mana yang seharusnya menjadi tanggung jawab orangtua. Mereka selalu menunda segala kebiasaan untuk mandiri, semata karena anggapan, ‘ah, masih kecil ini’ ‘mereka masih anak-anak loh’ ‘sini ibu bantu saja, nanti kalo sudah besar saja baru lakukan sendiri’
Seringkali kami mendapat cibiran sebagai ‘ibu jahat’ ‘ibu tega’ ‘orangtua ga sayang anak’ hanya karena anak-anak mengepel ompol mereka sendiri. Kadang karena mereka makan sendiri dengan jumlah yang masuk mulut lebih sedikit dibanding yang tercecer. Atau karena kami tak pernah mengabulkan mereka makan diluar sembari naik odong-odong atau lari-lari dan ibuknya harus menyuapi sambil kejar-kejaran. Kadang mereka berangkat ngaji sendiri menuju masjid berjarak kurang lebih 300 meter dari rumah. Dan kami jahat katanya...

Kalau kami tak marah, atau menahan dalam hati, atau kadang malah tertawa, ya karena kami paham apa yang kami lakukan. Ga lebih hanya untuk membuat anak-anak mampu membantu diri mereka sendiri. Kami menyadari, orangtua bukan satpam yang akan siaga 24jam tiap harinya demi mereka. Kelak, banyak hal yang harus mereka selesaikan sendiri, bahkan kadang tanpa orangtuanya tahu. Ya bisa apa kami kalau hal-hal ini dari sudut pandang orangtua lain dipandang sebagai hal yang jahat? :D
Yang terpenting kami mampu menjalani hari-hari dengan baik. Tak pernah merasa kerepotan meski mengurus ini itu sendiri. Dan tak pernah terbebani meski anak-anak tumbuh sebagai pribadi yang ‘banyak pertanyaan’
Tetapi soal hasil akhir dari bagaimana anak-anak ini kelak akan tumbuh, menjadi pribadi seperti apa 10, 20 tahun lagi, kami hanya bisa berpasrah setelah segala cara dan tanggung jawab kami tunaikan. Hanya doa yang selalu teriring. Begitupun tentu pada anak-anak lain, orangtua yang lain. Tak perlu ada ‘metode paling tepat’ atau ‘metode salah’ dalam membesarkan anak-anak. Yang ada hanya kesadaran untuk menjadi orangtua yang baik setiap harinya. Demi amanah yang sudah diberikan pada kita, bukan?
Sekali lagi, ini tulisan sekedar alarm bagi kami sendiri. Rumusan yang bisa kami ambil setelah 4 tahun menjalani hidup bareng Kidung dan Kinanthi. Benar dan salahnya urusan waktu, dan kemauan untuk terus belajar. Dynamic’s Life!!!






Comments

Popular posts from this blog

39

..somewhere only we know..

nge-repiew...