Side B
Aku gadis desa, yang kebetulan saja sanggup sekolah hingga
batas mampu menulis dan mengeja. Masa kecilku penuh dengan kenangan berlari
diantara hujan. Terseret arus sungai kala mandi bersama kawan yang kebanyakan
lelaki. Jangan bayangkan mandi bersama seperti pikiran sempit para manula, kami
masih bocah ingusan yang hanya tahu berteman dan tertawa.
Aku juga masih ingat kala ibu menjinjing keranjang besar
cucian sembari mengawasiku berjalan. Aku disampingnya, menggenggam erat ujung
kebaya yang nyaris koyak saking tuanya. Beberapa kali aku terpeleset karena
jalanan hujan yang licin untuk langkah kakiku yang mungil menuju sungai yang alirannya membelah desa dan mengairi
sawah. Beberapa kali pula ibu setia menjemba tanganku, melupakan beban cucian
yang jelas terlalu berat untuk tubuhnya yang mini.
Saat sampai di arus yang cukup tenang untuk mencuci,
dikelilingi bebatuan besar tempat ibu mengulas cucian para tetangga yang
diserahkan padanya, aku melangkah perlahan di kedalaman arus. Sungguh itu
menyenangkan. Menenangkan. Kala seluruh beban tubuhmu terangkat dengan bantuan
air yang mengalir lembut. Aku selalu memejamkan mata menikmati momen berendam
itu. Mirip Kebo milik Pakdhe yang tiap siang kumandikan sehabis membajak sawah.
Imbalan yang pantas untuk Ki Tarso, sang kebo yang sudah sepuh tetapi tetap
sigap membantu Pakdhe. Kadang datang kawanku Noy, membantu membasuh punggung Ki
Tarso yang tak mampu kujangkau dengan ketinggianku yang tak sampai di batas
dada dan perut Noy. Iya, namanya Noy. Orang kampung sering memanggil kami si
kembar mayang. Kembar lelaki dan perempuan. Saking miripnya tingkah kami. Saking
akrabnya kami melebihi gula dan semut. Teman-teman yang lain sering menjadikan
kami pengantin kecil, mengarak kami keliling kampung dengan suara cempreng khas
bocah
Ning nong ning jur...
mantenne teko kidul... sing ngarak cino gundul...
Dan kami tertawa. Lepas tanpa batas. Sampai hari dimana Noy
diculik waktu. Aku hentikan cerita hingga disini saja.
kampung jodipan -nay,- |
Iya, dari cerita itu harusnya kamu tahu. Aku hanya anak
tukang cuci dengan bayaran tak seberapa. Kadang hanya ditimpal dengan sepiring
nasi jagung dan urap kemangi. Yang selalu kuhabiskan lahap bersama 4 orang
saudaraku. Dari cerita itu harusnya kamu tahu. Aku bukan orang dengan
pendidikan tinggi, yang mampu bicara berbuih berbusa hingga mengalahkan sabun
detergen milik ibu-ibu rumah tangga. Aku si gadis kecil yang terlalu penuh
dengan mimpi. Yang kadang jadi susah membedakan mana fakta mana imaji.
Kamu, fakta atau imajiku?
Comments
Post a Comment