Refleksi

ini bukan tentang dendam atau kasih yang menghilang. Ini tentang sebuah rasa yang menjadi terlalu biasa karena ulah kita sendiri yang tak mampu merawatnya dengan baik. Seperti air yang tak lagi bisa mengalir kemana-mana. Terjebak pada sebuah kolam dan dipenuhi ganggang serta jentik-jentik. Pada rasa yang berubah demikian keruh, harapan apa yang kamu bawa? Harapan apa yang bisa kupinta?
Aku berusaha mengingat, setiap aliran air yang dulu pernah kita usahakan selalu. Betapa berbeda. Betapa hangat. Betapa dulu adalah sebuah rasa yang terus mengalir tanpa pernah kita berpikir untuk menampung atau mengekang jalannya.

Kamu bilang tak mungkin lagi kamu berusaha jika hatiku telah tertutup. Aku harus mengakui hatiku tak lagi merasa bisa terbuka. Dan parahnya kamu tak lagi bisa merasa. Aku hanya ingin menjelaskan bahwa aku tak lagi nyaman berada di posisi ini.
Bukan tentang keluarga kita masing-masing yang terlalu berlebihan berharap pada makhluk rapuh macam kita. Bukan juga tentang orang ketiga. Aku, bisa setia melebihi kamu. Bisa menghamba dan memujamu selalu. Kamu pernah merasakan itu dulu. Ini tentang aku dan kamu. Yang tak lagi bisa saling merasa. Sedikit saja kupinta waktu, untuk kamu membaca hatiku. Tapi tak pernah ada waktu itu.

Aku sedang dalam masa bertanya pada Tuhan. Pada jawaban yang dulu pernah kudapat kala bertanya tentang kamu. Bukan menyalahkanNya. Aku ini siapa berani menentang Tuhan. Aku hanya bertanya, apa benar dulu namamu adalah jawaban dariNya. Kalau iya, mengapa hari ini datang? mengapa aku tak lagi kuat menopang?

Kita merapuh masing-masing kemarin. Terluka bukan karena sesuatu yang tajam. Tapi karena kenyataan yang telah menjadi rahasia tahunan yang kini terungkap. Terlalu naif mungkin bicara soal surga. Tetapi aku selalu mendamba hidup yang berjalan, berproses dalam Kasih Tuhan. Kita telah lama ingkar, telah lama kufur nikmat, pada Kasih yang begitu hangat memeluk kita sekian lama. Aku hampa di titik itu. Aku merasa tak mungkin lagi menyakitimu terlalu dalam pada pencarianku tentang rasa cinta dan sayang. Aku berharap kekuatan darimu. Bukan rengekan. Aku hampa.
Aku mencoba menjelaskan dengan kemampuan kata berbicara. Aku mencoba menjelaskan dengan bahasa hati yang kukira masih bisa sampai kepadamu. Tetapi mungkin aku terlalu lelah. Gaungnya pun tak lagi bisa kau dengar

Hari ini aku menyadari, betapa kita makhluk yang sangat kecil. Mudah terluka oleh fakta yang tak sejalan dengan mimpi. Tetapi kita perlu berpikir bahwa Tuhan telah membagi kekuatannya pada makhluk cahaya bernama Kidung dan Kinanthi. Yang kukira akan menangis tersedu macam kita. Nyatanya mereka tegar melebihi karang. Mereka tetap terus berjalan dengan rutinitasnya tertawa dan bersenang-senang. Mereka terus melucu serupa badut yang tanpa perlu bayaran. Hanya tawa dan perhatian kita yang membuatnya ikut tertawa lucu. Memeluk sebisanya dengan adegan-adegan lucu. Aku sakit dititik itu.

pelukan malaikat

Tetapi aku yakin itu tak lama. Mereka akan kembali terluka kala kita menjadi biasa lagi. Kala kita berpura-pura baik-baik saja lagi. Kala kita mengira masih bisa memperbaiki. Aku terlalu takut pada sebuah gambaran tentang apa yang akan mereka tempuh nanti. Dengan dasar keluarga yang tak berpondasi. Aku, adalah korban dari keluarga semacam itu. Yang memilih bertahan meski sakit luar biasa. Tetapi mereka lupa, hidup bukan hanya soal mampu bertahan atau tidak. Ini soal hubungan orangtua dan anak yang penuh cinta. Ibu yang sehat, adalah ibu yang terus bisa memantulkan kasih pada anak dan keluarganya, kasih dari bapak yang penuh cinta. Dan aku tak lagi merasa bisa.
Pada kata yang kudengar darimu tentang 'sudah tidak apa-apa, aku ikhlas dengan apapun yang kamu lakukan padaku?' masih bisakah aku memantulkan cinta dari kata itu?

Aku masih manusia. Yang butuh untuk dicinta. Kata-katamu membuatku terluka sangat dalam. Harapan apa yang bisa kupegang dari kata 'Biar saja'

Pada titik mana kita nanti bertemu jika terus saja kamu membiarkan aku berlari tanpa mau mengejar atau membatasi?
Sementara aku selalu percaya pernikahan bisa membawa kita menuju tempat yang lebih baik kelak. Di tempat tak ada lagi sedu dan sedan.
Bersama kita nikmati Kasih Tuhan.
Menjemput Kalinda yang pulang lebih dulu

Harusnya aku menulis ini dengan tangis. Bicara juga dengan sedu sedan. Nyatanya hari ini aku lancar bertutur. Mungkin karena dua malaikat itu. Yang terus bicara Ibuk, aku sayang kamu. Bapak, aku sayang Bapak. Pada malaikat itu kita harusnya memandang. Hidup masih terlalu lama untuk kita ratapi. Mari putuskan, atau lanjutkan. Jangan terlalu lama. Aku bisa menua tanpa perlu persetujuan waktu. Aku takut tak lagi bisa membawa mereka berdua lebih bahagia.

Pahamkah kamu? Mari terus kuat bersama. Dalam ikatan atau tidak. Karena kita adalah hamba pilihan yang diberi amanat luar biasa hebat. Kidung Kinanthi.

Comments

Popular posts from this blog

this is how I disappear

tentang PANDA

gerhana matahari