Stay at Side B
Kulanjutkan cerita meloncat langsung pada kepulangan Noy
yang tiba-tiba. Aku sedang duduk di beranda. Menikmati utusan Waktu yang mulai
hobi bercanda. Benar, sebelumnya hampir saja aku kejatuhan cicak lucu yang
sedang bercengkrama di plafon atasku. Kau tahu apa yang paling kubenci dari
cicak? Mereka selalu melekat erat seperti menghisap kala jatuh menimpa kulit.
Satu-satunya cara yang bisa aku lakukan adalah menahan diri untuk tetap tenang
dan mengambil nafas panjang, membiarkan cicak itu pergi dengan sendirinya. Kamu
tahu kan cicak itu akan mati jika kupaksa pergi dengan tanganku. Mungkin
kulitnya akan menempel di kulitku. Mungkin cairan tubuhnya malah hanya akan
membuat kulitku berair dan bau. Dia mati. Aku repot sendiri membersihkan kulit.
Jadi kubiarkan saja cicak lucu itu merayap pergi dengan muka
lucu. Meskipun untuk itu aku terus saja bergidik ngeri sambil merapal doa.
Lalu begitu saja Noy datang. Persis di depanku. Bukan dengan
ucapan ‘Hai, rindu kamu padaku?’
Tetapi dalam diam dengan ketenangan luar biasa. Aku tak
mampu menembusnya.
Bukannya kelu lidahku. Aku menyadari terlalu banyak hal yang
ingin kusampaikan hingga aku bingung memulai untuk bicara.
Aku menunggunya. Sembari membuat kopi pahit favoritnya. Saat
kubawa cangkir dihadapannya, baru dia bicara
‘sudah lama aku tidak minum kopi.’
‘Ini kopiku. Sudah lama juga aku berganti kebiasaan minum
kopi hitam.’ Jawabku dengan intonasi tenang yang hampir tak kupercaya.
Mungkin dia merasakan itu. Dia melihatku dengan pandangan
yang lain. Aku sedang mengumpulkan kata yang terserak disana sini, saking
jauhnya kata itu meloncat hingga Wamena, dan aku berusaha keras lagi untuk
tetap dalam posisiku. Di hadapan Noy. Disini. Di beranda rumahku sendiri.
Sesapan pertama kopi hitamku, aku mulai mual. Tetapi aku
sudah punya kata untuk kusampaikan.
‘Aku menunggu hari ini, Noy. ‘
‘Menungguku?’
‘Menunggu hari. Untuk berjumpa lagi denganmu. Untuk
membiarkan kamu tahu bahwa Waktu telah begitu banyak mengubahku. ‘
‘Ketenanganmu terasa aneh bagiku, Nay. Seperti bukan kamu.’
‘Begitupun kelakuanmu, Noy. Seperti bukan kamu. Waktu juga
yang mengubahmu?’
‘Bukan. Aku malah hampir tak tahu Waktu. Tetiba saja aku
disini. Seperti dilempar sesuatu.’
‘Itu ulah Waktu. Dia memang begitu. Belakangan aku juga
selalu dipaksa berurusan dengannya. Tiap detik aku melayaninya. Hingga kadang
lupa untuk bernafas.’
‘Nay, sadar kamu kita begitu lama tidak bicara, merasakan
Waktu seperti ini?’
‘Kamu yang memilih itu. Aku tak pernah kemana-mana, Noy. ‘
‘Ucapanmu, seperti bukan kamu. Ulah waktu juga?’
‘Waktu itu bisa mengubah kebencian menjadi cinta. Mengubah
tangis jadi tawa. Mengubah rasa menjadi apa saja yang diinginkan. Kita tak
pernah bisa menolak itu. Kalau kamu bertanya perubahan ini adalah ulah Waktu,
tentu saja aku akan bilang iya. Kamu tahu, setelah panjang Waktu membawaku
kesini, aku baru merasakan nikmatnya bersahabat dengan Waktu. Dia tak pernah
hilang dariku. Mendekap, memeluk lebih erat meski aku menolak sekuat tenaga.
Dulu kepergianmu kukira adalah ulah Waktu. Seperti yang sering diteriakkan orang-orang.
‘Noy diculik Waktu, Nay.’ Tetapi kini aku sadar. Bukan ulah Waktu. Itu
keinginanmu sendiri untuk berlalu pergi.’
‘Itu menjadi sesal terbesar, Nay.’
‘Rasakan sesalmu. Aku hampir mati rasa dengan sesal. Tak ada
lagi tersisa, Noy.’ Jujur saja aku tersentak dengan ketenanganku mengucapkan
itu. Aneh. Seperti banyak tangan tak kasat mata memegangi hatiku yang ingin
terus bicara jujur.
‘Kalau itu yang kamu rasa, percuma juga aku berusaha. Apapun
yang kulakukan tak akan pernah bermakna di depanmu.’
‘Siapa yang membuat rasa menjadi begitu hambar? Kamu pikir
aku suka dengan kondisi tak mampu lagi merasakan apa-apa? Seperti air laut yang
mendadak menjadi tawar. Mematikan ikan dan ribuan penghuni di dalamnya.’
Lagi-lagi aku memaki. Gila! Kekuatan apa ini yang mampu membuatku mengatakan
segalanya dengan tenang. Pada Noy. Yang biasanya kuhadapi dengan tangis dan
lidah kelu.
‘Aku ingin berusaha lagi. Beri Waktu.’
‘Aku bukan pemilik Waktu, Noy. Aku hanya akan menebalkan
kata-kata ini untukmu. Aku lelah. Terserah apa yang akan kamu lakukan.
Menggenggam tanganku atau kamu pergi lagi. Bukan aku yang harus memutuskan itu.
Atau sekali lagi menyuruhmu ini itu. Sepenuhnya itu urusan kamu dan Waktu.’
Kopiku tinggal satu sesapan. Dan aku mual hebat. Cepat-cepat
kutandaskan sisanya dan aku mulai melangkah kedalam rumah. Meninggalkan Noy
dengan pikirannya sendiri. Mungkin memang ini saatnya dia mulai berpikir.
Mungkin ini saatnya aku mulai tidur. Tetapi efek kafein membuatku terus
terjaga. Dan pikiranku memusat ke Wamena. Aku tahu tangan itu darinya. Aku tahu
dia tak henti mengucap doa. Dia, yang juga utusan Waktu yang membangunkanku di
kuburan mimpi malam itu.
Nay,-
Wamena di ujung purnama
Comments
Post a Comment