Au Revoir, Facebook...

Ada banyak alasan untuk orang-orang aktif bermedia sosial. Terutama facebook. Saya sendiri mulai punya akun fb sejak 2009, dan terus berlanjut posting macem-macem mulai masalah bola, kuliner, curhatan, hingga jualan dan beberapa tahun terakhir tentu saja posting seputar #kidkin. Tentu saja ya, karena kemudahan memposting dan berbagi banyak hal sesama netizen.

Banyak hal menyenangkan tentu, meski kadang jenuh juga ya, liat timeline isinya begitu-begitu saja. Dulu nama alay, sampe postingan alay, lanjut ke selfie, lalu hadir grup-grup fb besar, makin kesini makin mudah orang menilai baik buruk satu hal dari konten fbnya. Makin mudah orang berkomentar, baik dan buruk, bahkan pada kepala negara sekalipun. Saya sadar sekali, di tahun-tahun menjelang pemilu tentu rawan sekali postingan politik, berita hoax yang menguntungkan satu pihak dan menjatuhkan pihak lain, sampai pengerahan massa untuk hal-hal yang kadang perlu dipertanyakan, 'untuk apa?'

Selama menjadi warga fesbuk sih saya beberapa kali sempat geram, menanggapi komentar, adu argumentasi, lalu perlahan berpikir panjang sebelum mulai terlibat dalam debat panjang lagi. Geram biasanya pada berita hoax, atau pada postingan yang tidak semestinya untuk publik.

Namun pada akhirnya saya bisa juga menahan diri untuk tidak terlibat arus. Karena makin kesini makin banyak orang mengenal fb. Dari teman bapak saya sampe anak-anak kecil tetangga meramaikan fesbuk juga 😁
Saya mulai lebih anteng saja sambil milihi konten yang bermanfaat semacam info kuliner atau parenting. Posting aman soal #kidungkinanthi dan segala tingkah absurdnya, sembari berharap tidak lagi terlibat dengan orang-orang yang fanatik akut. Beberapa dari mereka adalah kawan baik saya, jadi tidak bisa serta merta main blokir atau unfriend sih. Paling skip-skip saja kalau postingan mereka muncul 😁

Ndilalah, kersane Gusti Allah, akhirnya saya kok dibentrokkan juga dengan netizen maha benar. Kasus yang menimpa orang dekat saya berimbas juga pada saya. Karena saya yang lebih aktif di medsos, jadilah akun saya dibantai beramai-ramai.. Duh Gusti, ngeri sekali saya baca komentar dan judgements dari mereka. Bahkan sampai hari ini🙂

Sempat kepikiran blokir, simpan semua postingan penting untuk diri sendiri saja, bahkan hibernasi, tutup akun. Tapi masih sayang juga. Karena dari simpanan memori di fb saya bisa dengan mudah kembali mengenang masa balita anak-anak, masa perjuangan #kalindakitchen, masa jaya kaos #udengbodol, dsb. Di fesbuklah saya bisa ketemu teman lama,saudara yang terpencar dimana-mana. Disana saya bisa mengabarkan apa saja tentang saya dan keluarga pada keluarga besar kami. Tapi mungkin memang akhirnya harus ambil keputusan untuk tutup akun, dimana emosi saya mudah sekali naik turun karena serangan dari banyak orang atas kasus sebelumnya. Semua masih berlanjut, bahkan berimbas pada beberapa pertemanan saya yang rusak karena emosi semata. Sedih? Banget. Bukan semata karena komentar mereka, tetapi lebih karena, 'Ya Tuhan, akhirnya saya mengalami juga hal begini. Sebaik dan sekreatif apapun saya mencoba mengisi fb saya, ternyata banyak juga orang yang tidak suka 🙂 Hal yang saya bangun 10 tahun, rusak dalam sekejap mata.'



Keinginan kuat untuk tutup akun kembali datang setelah ternyata hal-hal buruk yang terjadi di dunia maya berimbas pada keluarga, terutama bapak dan ibu. Dari teman-teman beliau yang aktif fesbukan, bapak dan ibu akhirnya tahu masalah kami, dan itu benar-benar membuat saya down saat itu. Ternyata apa yang saya lakukan berimbas juga pada orang lain. Bahkan pada orang yang tidak tahu apa-apa tentang kejadian itu.
Jadilah terhitung Maret 2019, saya tak lagi jadi 'fesbuker' 😁

Sudah sekitar 2 minggu ini saya tinggalkan hingar bingar dunia perpesbukan dengan segala pesonanya😅
Ga kangen?
Kangen sih ga. Cuma berasa sayang ga bisa lihat postingan kawan yang keren-keren😄
Untung masih punya IG. Lumayan buat nyimpen memori kidkin dan berkomunikasi seperlunya, seperlunya ya, dengan teman dan sahabat. Masih juga punya WA untuk jualan dan proses kreatif gambar, flanel dan buku.
Iyaa, saya, yang kenal internet dari jaman bocah, kenal banyak orang dari sana, bahkan cari nafkah juga disana, mana bisa disuruh jauh-jauh dari gadget dan segala media sosialnya 😂😂

Well ya, ternyata kan memang bukan pada dunia mayanya yang jelek atau justru membuat masalah baru di dunia nyata, tetapi pada dosisnya. Pada takarannya. Saya sadar sudah sangat overdosis bermedsos. Dan hari-hari ini serta kedepannya, saya sedang masa 'terapi' medsos. Minimal mengurangi satu platform yang sudah 10tahun setia menemani galau, suka, dan segala gundah gulana saya 😅
–facebook–

Emang ada efek positifnya?
Sejauh ini saya merasa 'ringan'. Meski masih terngiang masalah kemarin, (hingga saya menulis tentang ini juga bertujuan untuk mengatasi perasaan ngeri itu) tapi sudah mulai bisa berpikiran normal dan mulai menjalani aktivitas dengan lega (baca : bisa tidur nyenyak sampai kesiangan😋)

Minimal saya bisa menghindari newsfeed fb yang yaaahh begitulah itu, plus dukungan dari netizen maha benar yang yaaahh begitulah itu 😁
Kalau boleh memilih, di tahun-tahun ini dan kedepannya, saya ingin jadi seutuhnya ibu rumah tangga dengan 2 anak, yang konservatif, tahu internet tapi tidak overdosis lagi, yang memanfaatkan internet bukan dimanfaatkan😁
Meskipun belakangan lagi marak kan ibu-ibu aktif bermedia sosial, pajang koleksi self picture paling cantik hasil kamera jahat😋 dan bangga bisa punya banyak fans 😎
Yang kalo punya fb aja sudah merasa pinter dan paham internet 😅

Ya sudahlah, saya mulai nyinyir. Maafkan, masih kebawa kelakukan jaman jadi pesbuker dulu🤣 Kita akhiri saja.
Tetap semangat yess... Jangan lupa #bijakbermedsos #antiberitahoax dan tolong, #kampanyedamai saja untuk #pemilu2019 ini. Semoga yang terbaik kita dapatkan untuk kemajuan Republik tercinta ini 🤗

Maret 2019

Emak mantan pesbuker


Comments

Popular posts from this blog

this is how I disappear

1985

10