Medsos Diantara Kita, Memudahkan atau Melenakan?


Seperti makanan, informasi yang masuk di otak kita pun harusnya difilter, dibatasi. Karena kadang, apa yang kita paksa telan justru bisa menjadi racun bagi tubuh, padahal seharusnya kita hanya 'makan' sesuai kebutuhan tubuh masing-masing.

Informasi, dimana bisa jadi itu fakta, opini, berita, kesimpulan, pernyataan, pertanyaan, status medsos, hari ini tersebar begitu mudah melalui berbagai media, terutama media sosial. Lalu sadarkah kita bahwa saat membuka satu platform medsos, facebook misalnya, seringkali kita disuguhi link atau sebaran status seseorang yang kalau dipikir secara mendalam, kita ga butuh-butuh amat untuk mengetahuinya.

Saya sering menyebut medsos sebagai pasar. Dimana sebatas pengetahuan saya yang masih sedikit ini, banyak hal bisa saja terjadi dan ada di dalamnya. Dari jual beli, hingga tukar informasi, dari silaturahmi hingga reuni, dari kenaikan harga bawang hingga agenda presiden hari ini, semua hal bisa kita tahu hanya dengan berbekal medsos. Asyiknya lagi, kita juga bisa dengan mudah berkomentar di tiap link berita atau postingan seseorang. 

Bebas berkomentar? Bebas membalas komentar? Bebas beropini? Bebas mengkritik? Bebas menyindir? Bebas menyebar berita? Bebas menghujat? Bebas memposting info diri sendiri ataupun orang lain tanpa ijin?
Tentu tidak, ferguso 😁
Sebelum menghadiahi diri dengan sebutan netijen, bekali diri dengan pengetahuan tentang UU ITE. Simak selengkapnya disini.
Atau ringkasnya disini

Tentang informasi yang 'dipaksa' masuk saat kita scrolling beranda atau timeline, saat itulah kita harus sadar betul tentang memilah dan memilih info mana yang ingin kita ketahui, mana yang kita butuh untuk menambah wacana atau wawasan. Kadang-kadang kita mudah terpeleset disini, dimana terlalu asik mengikuti link yang ada, terjebak pada judul yang rata-rata bombastis dan cenderung ambigu, lalu memancing kita untuk bereaksi, berkomentar, menyebar tanpa bertabayyun. Kadangkala tanpa sadar kita hanya terjebak pada euforia kebersamaan dengan teman-teman dunia maya yang sepaham dan sepemikiran, hingga kita abai untuk berpikir netral dan bijak. Hari ini kita dibuat mudah sekali kenyang karena suguhan-suguhan informasi yang mengalir deras. Hari ini dibuat mudah sekali merespon satu hal tanpa memberi jeda untuk berpikir obyektif dengan sekedar bertanya 
' sebentar, sudah benar belum yang saya simpulkan dari info yang saya baca ini?'
'ada tidak sumber lain yang bisa memberi keterangan lebih lengkap?'
Saya juga bukan orang yang bisa mengontrol emosi saat bermedsos. Tetapi setidaknya punya cara untuk membatasi diri, agar tidak mudah terpancing 'melabeli', 'menilai', 'menghakimi' hal-hal yang belum saya pahami dengan benar. Banyak pengalaman di waktu-waktu kemarin, dimana saya terjebak dalam opini dan persepsi saya sendiri, yang jelas belum tentu benar, untuk dikemudian hari akhirnya saya tahu kebenarannya. Sejak itu saya harus 'memaksa' diri untuk rajin membaca, aktif mencari tahu, bertanya pada yang ahli, untuk hal-hal yang saya tidak pahami dengan baik. Saya juga menahan diri untuk tidak mudah membagi berita yang belum bisa saya pastikan benar, setidaknya sebelum saya bisa meyakini kebenarannya dengan aktif mencari tahu sumber berita lain. Saya jadi skeptis? Bisa jadi begitu. Skeptis terhadap informasi, terutama yang beredar di medsos. Tetapi kemudian mencari tahu jika memang info tersebut saya butuhkan, setidaknya untuk menghilangkan penasaran. Jika info tidak terlalu penting untuk saya, seringkali hanya sekilas dibaca atau ditonton, sekedar menjadi pengetahuan umum saja.

Bukankah sehebat-hebatnya otak menyimpan dan merespons apa saja, termasuk informasi, tetap harus ada filter untuk menjaga kewarasannya. Tetap harus punya batasan untuk memilih mana yang berguna, mana yang justru mampu meracuni pikiran. 


Maka benarlah anjuran #bijakbermedsos itu untuk kita terapkan. Yang harus saya paksa terapkan pada diri sendiri dan keluarga dekat misalnya,
  • ‌Membatasi jam bermedsos
  • ‌Mengatur feed berita yang disodorkan dari sistem medsos kita melalui setting aplikasi masing-masing.
  • ‌Membatasi pertemanan dunia maya dengan setidaknya mengenal 60% pertemanan itu adalah orang-orang yang kita kenal di dunia nyata.
  • ‌Tabayyun, tabayyun, tabayyun. Hari ini banyak aplikasi anti berita hoax yang bisa kita pilih dan gunakan untuk mengklarifikasi kebenaran sebuah postingan/sumber berita. Atau jika masih bisa kita jangkau untuk bertatap muka langsung, lakukan.
  • ‌Banyak membaca, mencari tahu, menambah wawasan, berteman di dunia nyata, aktif di majelis atau kegiatan di kampung, kampus, sekolah, atau dimanapun kita mampu bersosial secara nyata
  • ‌Tahu batas kelemahan dan kekuatan diri sendiri. Mana hal yang mampu memancing emosi kita, bagaimana cara termudah untuk cooling down saat kita sedang emosi, dan berusaha untuk menghindari percikan-percikan terutama saat bermedsos
  • ‌Selalu usahakan pertemuan atau tatap muka saat bermasalah atau terjebak dalam perdebatan medsos yang mungkin bisa mengarah pada hal-hal tidak baik. Tatap muka akan membuat kita lebih tenang berdiskusi, bicara dan mengalami sentuhan fisik yang tidak bisa kita dapatkan saat 'perang komentar' di medsos. Jabat tangan misalnya.
  • ‌Tidak semua hal yang tampil di medsos adalah kenyataan sebenarnya. Rata-rata profil netizen di berbagai platform medsos mengandung pencitraan, atau terbatas pada hal-hal yang diijinkan diketahui publik oleh mereka. Pada dasarnya memang tidak semua hal bisa dan boleh ditampilkan di media sosial. Tentu ada area privasi bagi masing-masing netizen agar tercipta ekosistem bermedsos yang baik.
  • ‌Kesadaran diri sendiri bahwa ilmu, pemikiran, obyektifitas kita tidak lebih hebat dari siapapun. Semua orang bebas berpendapat, tetapi tetap pada koridor bermedsos sesuai dengan undang-undang yang telah dibuat dan terus disempurnakan
  • ‌Last, fokus pada apa yang kita butuh. Bukan manja pada hal-hal yang terus disodorkan pada kita tanpa jeda. Bila perlu, nonaktifkan notifikasi medsos agar kita tidak tergoda untuk membukanya diluar jam yang kita tentukan untuk 'berlayar di dunia maya'

Mari kita kembali aktif bersosial secara 'nyata', dimana memang lebih nikmat membahas banyak hal dengan tatap muka, ditemani sepiring singkong keju, kopi latte atau kopi tubruk, teh tarik, di sebuah warung kopi, atau teras depan rumah yang memungkinkan kita untuk bisa juga berinteraksi dengan orang lain. Sebaik-baikya medsos, internet, masih belum bisa menangkap dengan jelas bahasa tubuh, tatapan mata, jabatan tangan, dan ekspresi wajah yang mutlak kita butuh saat berinteraksi dengan orang lain. Sehebat apapun, jangan sampai medsos dan internet membuat kita terjebak di dunia maya dan melupakan dunia nyata, atau parahnya, melumpuhkan akal sehat dimana kita bisa berubah menjadi reaktif negatif terhadap apa saja yang sampai pada kita. Pada akhirnya, tentu mempengaruhi pikiran kita, nama baik diri dan keluarga, juga lingkungan sosial kita. Manusia, sekedar mengulang ingatan, adalah juga makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan orang lain. Secara nyata. Tehnologi hadir untuk memudahkan hidup manusia, bukan untuk mempersempit wacana. Mari kita mulai kampanye bijak bermedsos dari diri sendiri dulu 😊


15 Mei 2019
Salam,


Facebooker yang ingin kembali aktif menjadi Blogger

Popular posts from this blog

this is how I disappear

gerhana matahari

Ndleming