Sungguh Baik dan Benar?


Kerapkali orang hanya mau (atau mampu?) melihat sisi luar seseorang lalu mengambil kesimpulan sendiri dari subyektifitas yang ditangkapnya.
Bahwa seseorang yang diam saja misalnya saat teman yang lain bekerja, belum tentu dia malas. Bisa jadi dia sedang sakit gigi, sakit perut, anemianya kambuh, tetapi tidak dikeluhkan hanya karena tidak ingin merepotkan orang lain. Hal pertama yang seharusnya kita lakukan adalah bertanya, menyapa, mengajak sehingga kita bisa tahu dari jawabannya, dari reaksinya, dari responnya. Bukan langsung mengambil kesimpulan bahwa dia malas, tidak tenggang rasa, sulit diajak kerjasama, dsb kemudian menyebarkan kesubyektifan kita terhadapnya pada orang lain. Dampaknya, orang lain juga akan memiliki cara pandang yang sama dengan kita. 

Belakangan kita mudah sekali 'terprovokasi' dengan hanya melihat, mendengar persepsi orang satu terhadap yang lain, yang belum tentu juga benar. Kata Si Z, Si A itu begini dan begitu, maka begitu pula persepsi kita terhadap Si A tanpa mau mencari tahu Si A lebih dalam. Kita lupa untuk bersikap 'adil sejak dalam pikiran'. Lupa untuk melihat sesuatu dari sudut, jarak, jangkauan pandang yang lebih luas untuk tidak membiarkan persepsi dan nilai yang disematkan orang lain mempengaruhi kita. Tidak menjadi masalah andai itu dibawa pada hal baik. Sayangnya, lebih sering kita terbawa pada hal buruk. Menilai orang tanpa tahu kondisi sebenarnya orang tersebut.
Kita mudah terbawa arus mayoritas. Bahwa apa yang dikatakan sebagian besar orang adalah kebenaran, dan sebaliknya. 


Orang belakangan mudah sekali menjunjung idolanya terlalu tinggi, dan menjatuhkan orang yang tidak disukainya terlalu rendah. Kita bertengkar setiap hari untuk urusan 'kulit'. Urusan suka atau tidak suka, punya pendukung lebih besar atau tidak, didukung orang-orang terbaik atau tidak, lebih mampu menyuarakan aspirasinya atau tidak.
Kita mabuk pada sosok ideal. Bahwa idola kitalah yang paling ideal untuk mengerjakan banyak hal atas kepentingan kita masing-masing. Kita lupa nilai benar salah baik buruk, atau sengaja melupakan demi kepentingan yang kita perjuangkan?

Kita tak perlu bertanya pada siapa-siapa tentang hal baik atau buruk. Apakah melabeli seseorang tanpa mencari tahu lebih dalam adalah baik dan benar? Apakah memperjuangkan sesuatu yang baik dengan cara menghina dan merusak adalah baik dan benar? Apakah mengkotak-kotakkan sesama hanya karena beda pandangan sehingga layak dianggap musuh adalah baik dan benar? Apakah menutup mata pada fakta yang ada hanya karena tidak sesuai dengan keinginan kita adalah baik dan benar? Apakah kepentinganmu terlalu mulia untuk bisa menjadi pembenar bagi kedholimanmu terhadap orang lain?

Kita tak perlu bertanya pada siapapun. Kita hanya perlu bertanya pada nurani sendiri, sembari memohon lebih sering dalam doa istiqomah seperti yang dicontohkan Kanjeng Nabi Muhammad SAW
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
“Ya muqollibal quluub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”

Ummu Salamah pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لأَكْثَرِ دُعَائِكَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

“Wahai Rasulullah kenapa engkau lebih sering berdo’a dengan do’a, ’Ya muqollibal quluub tsabbit qolbii ‘ala diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu)’. ”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menjawab,
يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ

“Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.”

Setelah itu Mu’adz bin Mu’adz (yang meriwayatkan hadits ini) membacakan ayat,
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami.” (QS. Ali Imran: 8) (HR. Tirmidzi, no. 3522; Ahmad, 6: 315. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Betapa rapuh hati kami, Ya Robb.. teguhkan selalu di jalan kebaikan menuju ridhoMu.

30 Mei 2019

 *Tulisan ini adalah persepsi pribadi dari saya, ibu dua anak yang mencoba dan belajar berpikir runut dengan menulis, sebagian isinya, dikutip dari sini
https://rumaysho.com/13301-ini-ceritanya-kenapa-nabi-terus-berdoa-meminta-istiqamah.html


* Gambar dari hasil googling

Popular posts from this blog

this is how I disappear

gerhana matahari

Ndleming