Menua dan Matang

 


Kamu berharap apa hari ini pada bapak ibumu, 

Berharap diteriaki pulang cuci kaki lalu dipaksa tidur siang? 

Kamu berharap apa hari ini pada bapak ibumu, 

Berharap ada nasi sayap ayam lalu makan disuapi sambil dimarahi karena pulang menunggu teriakan? 

Kamu berharap apa hari ini pada bapak ibumu? 

Uang saku yang tak boleh kurang, kurang seratus kamu tagih hingga pengang telinga mereka

Kamu berharap apa hari ini pada bapak ibumu? 

Main petasan dan raketan seharian, puasa ramadhan bisanya sebatas bedug minta menu telur kecap ga pake lama, lalu ingin dengar ucapan selamat kamu anak hebat plus baju baru 2 setel saat lebaran dari bapak ibu.


Kamu, yang masih anak kecil tapi sudah punya satu, dua, tiga, empat anak. 

Tengok sebentar bapak ibumu

Sudahkah sadar berapa uban di kepalanya

Sudahkah sadar jalannya tak lagi seksama

Sudahkah sadar bicaranya melambat, tersendat, seringnya bercerita tentang masa mudanya yang seru tapi dihentikan dengan sukarela karena kamu yang dinantikan telah lahir


Kamu, anak-anak yang mulai beruban juga. Tangisanmu, karena takut kehilangan kenyamanan hidupmu atau benar karena tulus bakti pada bapak ibumu? 

Kamu, anak-anak yang berani mendebat ibumu hanya karena sudah mandiri. 

Siapa dulu yang mengajarimu menyanyi dan bicara? 

Sudahkah sadar betapa rewelnya bapak ibu minta ini itu karena semenit pun kamu tak punya waktu untuk bertemu. 

Menaikkan volume suara mereka karena bahkan semenitpun kamu tak ingin dengarkan permintaan mereka. 

Umurmu sudah kelewat tua untuk menyadari bahwa bapak ibumu datang hanya untuk membantumu, bukan sebagai garda terdepan mendidik anak-anakmu.

Mereka bukan pekerja tanpa bayaran yang bisa kamu suruh-suruh membantu pekerjaanmu, menitipkan anak-anakmu, tapi kamu rasani ke seluruh dunia saat perilakunya salah dimatamu.

"Kuno! Ga paham parenting! Anakku bisa kena mental! " Begitu ucapmu angkuh pada ibumu yang diam-diam sembunyikan permen untuk anakmu di balik bajunya. 


Sudahkah sadar, 

Kita tak lagi disana. Hidup riang kanak-kanak yang mudah saja berlindung pada ibu bapak. 

Kita sekarang disini. Hidup sebagai pelindung untuk anak-anak yang tetiba sudah besar.

Kita sekarang disini. Menunggu titah bapak ibu yang sekedar ingin ditemani makan atau diantar kontrol kesehatan. 

Kita sekarang disini. Nasi mulai dikurangi, tiap saat cek kesehatan takut kolesterol gula darah asam urat tinggi.


Umur itu bukan kita yang atur. Kita menua tanpa diminta. Begitupun 2 sosok mulia yang berulang kali diminta dalam kitab suci untuk kamu muliakan itu. 

Pada akhirnya, kita yang merasa muda ini, juga akan berada di posisi mereka. Suka atau tidak. Menua dan berkurang seluruh kekuatan. Kalau bapak ibumu mulai rewel dan bertingkah, sadarilah itu fase kehidupan. Entah kamu suka ataupun tidak. Kelak kamu akan rasakan juga. Semoga masa tuamu bahagia. 


Seperti yang ditulis J. S Khairen di bukunya Dompet Ayah, Sepatu Ibu : 

" Masakan ibu takkan kau temukan di restoran terbaik. Kelakar ayah takkan kau jumpai di panggung paling gemerlap. Untungnya, kau punya dua tempat itu sekaligus -- rumah. "

" Bersikap baiklah pada orangtuamu. Ini juga pertama kalinya mereka menjalani kehidupan."

" Jangan frustasi ketika ibumu kesulitan memahami ceritamu atau ayahmu lupa akan sesuatu yang sudah kau katakan. Mereka tidak bermaksud demikian. "

" Bersabarlah pada orangtuamu. Mereka juga sedang belajar menjalani hidup, sama seperti kita. Hargai setiap momen bersama mereka, tanamkan kasih sayang, dan ingatlah -- cinta sejati terletak pada pengertian. "


Dan, begitulah aku yang 40 ini mulai belajar lagi mendengar orang tua, dan memahami anak-anakku. Semoga belum terlambat 😌

--Note to my self. 





Comments

Popular posts from this blog

this is how I disappear

39