Maiyah Itu Apa?

Sebagai orang yang hanya 'arang kading' hadir di majelisnya, sebatas kalau tempatnya kebetulan dekat, dan seringnya hanya modal wifi untuk bisa sinau 'online' bareng temen-temen yang lain, terlebih belakangan ini, tentu saya sangat tidak pantas dan tidak punya kapasitas untuk menjawab pertanyaan diatas.

Tetapi saya tergerak untuk menulis tentang maiyah, tentu dari sudut pandang saya sendiri. Karena sedikit banyak, #maiyah membantu saya selama kurang lebih 10 tahun, terutama 2 tahun belakangan. Membantu 'ndandani' cara berpikir, kalau orang modern bilang 'mindset'. Diobrak-abrik, dirombak total. Dan dari perombakan itu hadir banyak sudut pandang baru, yang membuat saya bisa merasa


'woohh, hidup itu luas dan penuh sekali dengan kemungkinan-kemungkinan. Kadang-kadang lucu, seringkali lucu sekali yo tibae😁'


Dari maiyah, yang dulunya saya hanya ingin sekedar kumpul, sekedar ngisi waktu karena jomblo, dan berharap siapa tahu ketemu jodohnya disitu. Ndilalah malah ketemunya waktu lihat konser Tani maju, wkwkwk... Alhamdulillah, minimal urusan hati yang dulu ngenes banget itu sudah usai. 


Apa lantas usai nikah ga pernah lagi ikut maiyah? Nggak. Masih lumayan rajin.
Bisa dibilang, berhenti total dari bermaiyah itu sejak jadi ibuk'e kidkin. Repot jadi ibuk baru ceritanya. Meski kalau dipikir sekarang, menyenangkan sekali kesibukan waktu itu. Saking sibuknya, saya jarang meneng. Jarang sok-sok mikir apalagi insomnia. Lagi enak nyuci saja bisa keturon kok 😁
Saat anak-anak mulai gede, sebenarnya mulai lupa rasanya maiyahan. Cuma bisa kangen-kangenan lewat 'angen-angen', karena kalau maiyahan ga pernah mikir selfie juga jadi ga punya dokumentasi apa-apa 🤭
Cuma bisa liat temen-temen yang lain tetap aktif budhal meski punya anak. Lha iya, anaknya satu. Atau punya bayi tapi anak pertama sudah lebih gede. Si kecil digendong saja selesai sudah. Ada bapak sama ibunya yang siap sedia dari mimik susu sampe ganti pampers. Karena maiyah seperti yang kita tahu, punya durasi yang panjang dan lama lebih dari choki-choki 😀
Lha kami, masing-masing jadi punya tanggung jawab mengurus satu bayi. Terlebih #kidkin ga mau sama sekali minum dari botol meskipun itu ASI. Mbayangkan saja sudah senep weteng ini. Belum lagi dengar ocehan tonggo atau misal mbah kakeknya tahu kami 'otong-otong' bayi tengah 'wengi'. Serem 😂


Sampai akhirnya maiyahan lagi, online tentu saja, baru kemudian bisa hadir juga sinau bareng saat anak-anak mulai bisa diajak maiyahan. Awalnya karena mulai timbul tuh bibit-bibit masalah dalam hubungan saya dengan pasangan dan keluarga besar. Sekedar cara saya untuk ga mikir nemen-nemen masalah yang kayanya bakal mbledhos itu. Intinya lagi-lagi, ngisi waktu saja alih-alih belajar agama. Dari sana tanpa sadar banyak menemukan kesalahan-kesalahan diri sendiri, terutama kesalahan berpikir. Waktu itu, mungkin sampai sekarang juga sih 🤭 saya gak mau merasa salah. Benar sendiri pokoke. Orang lain yang salah. Orang lain yang harus berubah. Pokok apa yang saya pikir dan katakan ya benar dan harus dituruti. Saya ingin mengubah banyak hal yang saya pikir jadi akar masalah. Saya tidak perduli bahwa itu menyakiti orang banyak, terutama orang terdekat. Waktu itu mikirnya 

"saya mikir hidup saya sendiri tanpa bantuan siapapun, sekarang kenapa, kenapa saya diseret dalam masalah yang tidak saya lakukan, atau akibat salahnya orang lain?"


Dan meledaklah saya. Yang bisa jadi karena saya selalu mengusahakan semua hal sendiri. Yang ternyata hanya pikiran jelek saya saja bahwa orang-orang egois dan tidak peduli kepada saya.

 
Maiyah membantu saya keluar dari pikiran-pikiran buruk saya sendiri. Maiyah membantu saya hingga mau dan bisa minta tolong pada orang lain, alih-alih melakukan semua sendiri padahal sudah sekarat. Maiyah mengubah total pikiran saya, bahwa menjadi keluarga, bukan lagi tentang saya yang hebat dalam berpikir, nilai saya dulu bagus saat sekolah, pernah kerja dan dipercaya bos asing, bisa cari uang sendiri, bla bla bla
Juga bukan lagi tentang pasangan yang berprestasi sebagai penulis naskah, pinter menulis, punya karya berupa buku, atau dia yang keturunan keluarga mbois.

 
Maiyah mengajak kami berpikir lagi tentang arti pernikahan, dan tentu saja dalam banyak hal, hanya fokus saya waktu itu tentang arti keluarga. Bahwa bukan lagi tentang siapa aku siapa kamu. Tetapi tentang siapa kami, mengatasi kurangnya aku dari lebihnya dia, dan sebaliknya. Keluarga adalah satu kesatuan dari banyak pikiran yang harusnya bisa membuat langkah maju. Bukan menjatuhkan. Bukan benarnya sendiri. Bukan mikir 'lek ganok aku, gaiso kamu jadi begini'
Satu anggotanya berbuat sesuatu, tentu akan membawa dampak untuk yang lain. Karena itu, menjadi keluarga seharusnya bisa mikir benarnya bersama, bukan benere dewe. Sehingga meminimalisir rusaknya hubungan.


Dalam beberapa kesempatan juga, Mbah Nun, Mas Sabrang dan teman-teman maiyah lain membahas tentang bangunan rumah. Bahwa struktur yang membentuknya terdiri dari banyak hal. Ada tiang pancang, kayu jendela, batu bata, dsb yang semuanya punya tugas masing-masing. Bisa dibayangkan andai kaca ngotot pingin jadi tiang pancang dan bukannya jadi jendela. Atau genteng yang inginnya dibawah bukan jadi atap. Begitupun Keluarga. Ada masing-masing anggota pembentuknya dengan tugas dan tanggung jawab personal untuk membentuk keluarga yang baik.


Maiyah, juga mengubah total hidup kami belakangan lewat contoh nyatanya sebagai komunitas yang tanpa struktur tetapi sangat massive. Komunitas yang individu-individunya orang-orang biasa yang mungkin akan dipandang rendah pada majelis-majelis lain, tetapi di maiyah punya ruang dan tempat untuk bicara, menyatakan gagasan dan pemikirannya. Maiyah menjadi tempat kami untuk merasa memiliki keluarga dalam arti sesungguhnya. Maiyah, lewat mbah Nun, Mas Sabrang, kyai kanjeng dan 'teman-teman diskusi' kami lainnya, memberi bukti bahwa kalau sudah di maiyah, lepaskan dulu identitas sebagai dosen, ulama, tukang becak, pemulung, atau bupati sekalipun. Disana kami duduk bareng, sejajar dan tanpa sekat. Kami sama dalam pemikiran, tanpa sibuk memisahkan dan memikirkan gender. Karena satu-satunya alasan duduk bersama disana hanya kerinduan. Kerinduan pada kebersamaan, saling guyon dan menguatkan. Juga sekaligus 'ngangsu kaweruh' pada hal-hal kecil yang menjadi tema bahasan. Kadang sekedar pingin guyon lepas, dengerin guyonnya orang hebat yang ga jaim untuk diguyu kami-kami ini, para kurcaci mini. Wes kurcaci, mini pisan 😁
Dari personil mbah dan bapak juga mas di kyai kanjeng saya juga belajar banyak. Seperti yang kita tahu, kyai kanjeng bisa dikatakan sangat jenius dalam mengolah lagu, nada, irama, dari dangdut sampai sholawatan. Sangat bisa menghibur atau bahkan memantik kereligiusan dari lagu-lagunya. Orang-orang mbois lah pokoknya. Tetapi siapa sebenarnya mereka?
Kenapa tidak banyak yang membahas personilnya masing-masing selayaknya band-band di indonesia dikupas tuntas dari siapa pasangannya sampai bagaimana kepribadiannya, bangun tidur jam berapa dan madep mana saat makan😂🤭
Padahal, kalau mau 'dijual', Kyai Kanjeng terdiri dari orang-orang yang ga biasa. Personilnya ada yang dokter, ada yang orang teater, mantan vokalis band, pun ada yang non muslim. Tetapi sembois-mboisnya mereka, saat menjadi 'kyai kanjeng', mereka lepaskan identitas pribadinya. Mereka merupa menjadi vokalis, jadi pemain suling, biola, dsb untuk menghasilkan karya yang mbois.




Saya memandang itu sebagai pembelajaran. Seperti yang ditulis di buku 'Orang-orang Maiyah', 


"Orang Maiyah adalah orang yang membaca dirinya berulang-ulang, ribuan kali.
Di dalam Maiyah tak ada guru dan murid. Semua orang adalah murid, sang penghendak ilmu."


Jadi, menurutmu maiyah itu apa?

Comments

Popular posts from this blog

this is how I disappear

gerhana matahari

Ndleming