Last messages


Aku memang pelupa. Pada nama jalan atau papan penunjuk arah. Pada apa yang kukerjakan pagi tadi. Tapi tidak pada tiap kenangan beserta emosi yang kurasakan saat mengalami suatu hal.
Hari ini, tepat setahun lalu aku seharian menunggumu di beranda rumah. Tak ada pesan di ponsel bahwa kamu tak bisa datang. Namun nyatanya kita batal bertemu, setelah seharian kuhabiskan hanya untuk terlihat pantas untukmu, menunggumu. Aku masih ingat helaan nafas yang kuambil malam pukul 9. Waktu dimana tak ada kemungkinan kamu akan datang. Masih juga kuingat hangat pipi dan mata yang sembab di malam-malam sesudahnya karena kecewa padamu. Meskipun aku pun ingat benar aku bilang akan mengikhlaskanmu. Pergi entah kepelukan perempuan yang mana lagi. Bagiku, itu hal yang paling mungkin kulakukan setelah penantian panjang berujung pada perjumpaan yang batal, karena belakangan aku tahu kamu berhubungan dengan banyak perempuan. Aku, nyatanya, tak cukup buatmu.

Jadi pergilah...


Hari ini kelebatan memori itu datang lagi, saat messengerku menerima pesanmu. Iya, kita masih kerap berkirim kabar setelah perempuan itu terlalu banyak mengeluh katamu. Dengan entengnya kamu bercerita putus dengan dia. Kamu santai mengajak aku bertemu, minta ditemani makan semangkok mie di warung favorit kita di ujung jalan.


Ahhh...
Ternyata benar adanya. Penantian itu lama sekali. Kadang tak berujung. Sepertiku, yang harus bersabar menunggu setahun sejak pamitmu itu untuk bisa bertemu kembali.

"Harus kujawab 'iya'?" Balasku pada pesanmu.

"Harus"
balasmu dengan segera. Lalu kau kirim lagi pesan agak panjang.
"Menebus perjumpaan yang tertunda sejak 2 tahun kita dekat, memperbaiki apa yang bisa diperbaiki. Bahwa nyatanya hanya kamu yang selalu ada selama ini, untukku"
Aku hanya menatap kedip kursor. Sibuk pada pikiranku sendiri dan tak segera membalas pesanmu.
Kamu kirim lagi pesan. Satu emot. Yang dulu pernah sangat aku tunggu.


"☺️"


Karena emot itu membuatku membayangkan kamu tersenyum ke arahku. Seakan bicara, tenanglah, semua baik-baik saja. Atau kata-kata semacam sabar ya, sebentar lagi kita bertemu. Dan begitu saja sudah menghangatkan hatiku. Dulu.
Karena kamu tahu 12 bulan bukan waktu yang singkat. Selalu ada hal yang akan berubah seiringnya. Termasuk mie favorit itu. Akan berubah rasanya jika aku mengiyakan ajakanmu. Jadi jauh lebih enak, atau justru lebih hambar?

Karena seperti katamu lagi. Rasa makanan itu soal nomor sekian. Yang terpenting ada pada siapa yang menemani kita makan.

Harus kuiyakan ajakanmu?
Masih berkedip kursorku. Belum sempat kutulis, muncul lagi pesanmu. 

"Kamu belum berubah kan. Cuma kamu yang paling sabar padaku. Aku kangen."

Rasanya hatiku luruh membaca itu. Tapi segera kutepis perasaan hangat itu. Pelan mulai kutulis semua hal yang kupendam selama ini. Jadi sangat panjang. Tak apalah. Kukirim segera padamu yang masih online.

"Aku Nay. Masih Nay yang sama. Hanya berbeda sudut dalam memandangmu saja sekarang, dan semoga selamanya. Aku persilahkan kamu datang ke warung mie favorit kita, bersama orang lain. Perempuan terbaik menurutmu saat ini. Entah lusa, entah tahun depan. Asal jangan aku ((lagi)).
Karena kurasa aku mulai menua, bawel, ribet, dan tukang keluh. Dan aku paham kamu benci dengan itu. Dan aku benci menjadi bahan ceritamu pada perempuan-perempuan lain, bahwa ada perempuan dungu yang masih setia menunggu dirimu, mengiyakan ajakanmu, apapun itu, bersedia menjadi badut untukmu, dan perempuanmu tertawa-tawa, lalu merasa kasihan padaku karena lelaki yang aku tunggu sedang menikmati waktu bersamanya
."


Tiga menit kemudian, seperti yang kuduga, kamu menelponku. Dan seperti yang sudah-sudah, aku akan luluh setelah mendengar suaramu. Jadi kali ini kubuat berbeda. Matikan daya ponsel segera setelah kukirim satu pesan lagi padamu. Lalu pergi menuju warung di ujung jalan itu.


Hari ini terakhir aku menikmati mie di warung favorit kita ini, sebelum kamu benar-benar datang dan mengacaukan rasa, dan kenanganku disana. Kenangan bersamamu disini, biarlah tetap jadi kenangan manis. Bahwa aku pernah sangat bahagia bersamamu. 

Hari ini terakhir juga aku berkirim pesan padamu. Akhirnya fitur blokir di messengerku akan berguna 🙂


"Aku pamit ya. Sengaja kutulis ini agar setidaknya kamu tahu, aku tak lagi ada untukmu. Karena kuyakin kamu tak akan serius menanggapi kepergianku kali ini, seperti biasanya. Saat masih sibuk dengan tawa perempuan lain, ataupun nanti saat kamu sendiri, anggap saja aku tokoh fiktif dalam hidupmu. Aku mau jalan yang berbeda. Banyak hal yang harus kulakukan selain menunggumu. Semoga bertemu dengan orang yang akan membuatmu merasa cukup. Cukup dan satu-satunya. Semoga bahagia, Noy 🙂"



Comments

Popular posts from this blog

this is how I disappear

gerhana matahari

Ndleming