Baik-baik Saja




Aku hanya perlu membiasakan diri kembali untuk jatuh cinta pada sepi, pada hujan, pada secangkir kopi, pada rangkaian aksara yang tersusun satu demi satu dalam bingkai jendela biru muda di layar laptop. Meski nyatanya tak ada yang bisa kutulis sejauh apapun mencoba. Satu satu terangkai kemudian kuhapus. Serupa perbuatan kosong yang menandakan otakku memang sedang tak karuan.

Kucoba mengumpulkan fokus pada kopi yang tinggal separuh cangkir. Kopi tubruk tanpa gula. Pada akhirnya hanya diam mematung setelah itu. Berkelebatan memori datang dan pergi, serupa klise foto yang terpotong disana sini. 
Sungguh aneh. Sebelumnya aku sangat nyaman menulis dalam kondisi tenang, bahkan aku butuh ruang untuk menyendiri. Hari ini kudapati semuanya. Tapi entah kemana fokusku hilang...

"Aku baik-baik saja
bisikku dalam hati. Aku hanya perlu kembali terbiasa, sendiri. Setelah hari ini, aku bisa merasa bebas. Pergi kemanapun, kapanpun aku mau. Melakukan apa saja yang aku mau tanpa perlu ribet dengan pamit atau basa basi pada orang lain. Bukannya itu menyenangkan?

Satu dua hari ini sementara biar aku begini. Merenung, ditemani bergelas-gelas kopi pahit. Diam mematung di kursi rotan kesayanganku. Tanpa ribet mandi, atau ganti baju. Ini sebuah kemewahan. Setelah 10 tahun lamanya aku tak bisa lagi menikmati ini. Karena kamu. Karena kamu dan kebiasaan yang kamu bawa. Karena kamu dan kebiasaan yang harus aku ikuti. Karena kamu, dan pernikahan yang kita yakini, dulu.

Terlalu lama waktu yang kuhabiskan untuk berbasa-basi denganmu. Terlalu mengekang ikatan diantara kita yang akhirnya bisa kusadari selama ini kita hanya sibuk memikirkan diri sendiri. Sibuk berjuang masing-masing entah untuk tujuan apa. Kita lupa artinya pernikahan. Kita saling mengikat erat hingga nafas terasa berat. Kita lalui hari-hari penuh cacian entah karena apa, karena siapa, dimanapun kita bertemu. Kita serupa teman tidur yang saling menusuk dibawah selimut. Kita, berlumuran darah tanpa terasa. Basa-basiku kurasa cukup sudah. 10 tahun, it's enough.

Kita tak lagi boleh saling menikam. Setidaknya, 10 tahun ini, kamu yang paling tahu segala hal tentangku. Mungkin kita yang tak pandai hidup bersama. Mungkin kita yang terlalu abai untuk menyeimbangkan dua kepala. Mungkin aku yang terlalu egois untuk meletakkan semua kesalahan di pundakmu. Tapi tolong, syukurilah saja. Sebagaimana kita butuh alasan untuk bertemu, kita juga butuh alasan untuk berpisah. Dari awal perjumpaan denganmu, aku hanya ingin kamu bahagia dan mensyukuri hidupmu.

Kukira aku bisa menemani. Kukira aku bisa menghadirkan rasa itu hingga tak perlu repot kau cari-cari sendiri. Nyatanya aku tak sanggup. Dan hanya tangis yang kudapat darimu. Hari ini, dan seterusnya, bahagialah lagi. Dengan dia yang nyatanya bisa juga kau bersikap manja. Bersikap layaknya perempuan yang kasmaran. Tenanglah, apapun yang terjadi, aku tetap membawa namamu dalam doaku. Kueja pelan-pelan namamu, selalu. Sebagai ucapan syukur bahwa hidup telah mengajarkan padaku untuk tak menggantungkan bahagia hanya pada kehadiran orang lain.

Aku tahu, perlahan aku pasti terbiasa. Mengulang kembali ritme hidupku sebelum bertemu kamu. Dan terbiasa kembali dalam hening. Tak apa. Aku laki-laki baik. Begitupun kamu, perempuan baik. Kita hanya berbeda arah. Dan aku baik-baik saja.

Comments

Popular posts from this blog

this is how I disappear

gerhana matahari

Ndleming