Sebuah Tawaran Untuk Nay


Pulau yang ingin kuceritakan padamu itu, adalah sebuah hamparan sawah dengan padi yang mulai menguning. Lengkap dengan gerombolan manuk emprit yang hilir mudik mencuri padi yang mulai bernas. Juga dengan galengan yang biasa digunakan para bocah mencari belut selepas hujan. 

Kerap kubayangkan. Aku dan kamu menikmati senja di sana, di antara matahari yang perlahan merubuhkan badan. Duduk berdampingan, lalu bercerita tentang masa depan, tentang aku dan kamu kemudian. 

Atau menikmati sejuknya tepian sungai yang berair jernih, dengan batu-batu hitam serupa sungai kecil kenanganmu yang pernah kamu ceritakan, tempat kamu dan simbok mencuci pakaian. Sungai tempat kamu dan dia, Noy, memandikan kerbau di hilir. Sungai berhargamu yang kini sudah surut bahkan menciut dikepung rumah dan bangunan. 

Semua kenangan masa kecilmu adalah hal yang hendak kutawarkan padamu. Saat nanti perjalanan waktu membawa langkah kakimu kemari, ke dusun kecil di bawah kaki merapi.



Karena aku tahu. Di tempat sekarang kau tinggal, sawah-sawah telah tersulap menjadi bangunan megah, menjadi lapangan tempat menumpang sampah, menjadi tanah tempat menampung kesah.

Di kotamu, kerbau-kerbau telah menjelma mesin-mesin bising. Kerangka-kerangka besi yang berlarian menyesaki jalan. Kau sering terjebak di situ, diantara gerutu dan panas yang begitu deru.


Pada gambar kotamu yang kau kirim padaku, aku melihat bangunan-bangunan tinggi itu seperti raksasa jahat dengan bola mata yang bulat, juga tangan-tangannya yang angkuh dan sombong. Katamu, kau bekerja untuk mereka.

Aku bahkan ngeri membayangkan, di tengah kegaduhan itu kau berlari mengejar waktu, mengejar harapan yang tersangkut di pukul tujuh.


Ah... Aku ingin sekali mengatakan ini, harusnya kau pindah pulau. Ke pulauku di kaki merapi, yang menguar wangi tanah basah tiap pagi saat matahari merangkaki bumi, mendengarkan kekicau burung ketika membuka jendela, atau suara katak yang berdendang selepas hujan.


Aku ingin sekali mengajakmu tinggal di sana. Menua dan bahagia berbagi mesra, dua cangkir teh wangi melati yang kita seduh tiap hari, satu puisi kasmaran yang akan selalu kubacakan, juga kecupan milik keningmu sebelum aku berangkat memulai waktu. lya, sesederhana itu. Menunggu renta di beranda. Melihat anak dan cucu-cucu kita tumbuh dewasa, melihat cinta yang luar biasa lahir dan tumbuh dari dusunku.


Ah... Harusnya kau pindah pulau dan tak lagi sibuk bertanya aku ini fakta atau imaji, Nay... Aku tak peduli kenangan yang masih rapat kau simpan. Tentang dia yang tak kunjung pulang. Tentang penantian diujung pulaumu yang berubah serupa metropolitan. Yang sungainya kerap kau tangisi, karena kini menguning kehitaman hingga tak lagi bisa kau berendam.


Aku. Aku, Nay yang akan memberimu tempat baru. Hingga kau tak lagi sibuk dengan masa lalu.



Sediakah kamu?


*Sebuah tulisan dari seorang kawan baik dengan sedikit penambahan disana sini. Maturnuwun, Gio. Have a great life 💪😁

Comments

Popular posts from this blog

this is how I disappear

gerhana matahari

Ndleming