Benar?

Dulu, pernah terjadi. Saya yang anak kecil ini berdebat dengan orang yang berumur jauh lebih tua, jabatannya lebih tinggi, kuasanya jauh lebih luas. Berdebat tentang tugas dan tanggung jawab saya selaku operator biasa yang entah karena apa harus dapat sanksi potong gaji. Saya yakini saya benar, dan punya cukup bukti untuk hal itu. Masalahnya, yang akhirnya baru saya sadari belakangan setelah agak menua, cara ngomong saya ini loh yang ga bener. Full power, ga runtut, emosi, pake nangis pula 🙈

Mana ada sih orang yang jauh lebih tua, berkuasa, mau diteriaki anak kecil macam saya yang ngotot bicara kebenaran tapi mengabaikan adabnya bicara. Beruntung hari itu saya dimaklumi, ga dipecat, ga jadi potong gaji juga. Tetapi hubungan kami sebagai bos dan anak buah dingin sekali kaya di kutub utara. Tiap sampaikan laporan bingung setengah mati, salah tingkah sendiri. Dan berlangsung lama, masing-masing selalu berprasangka sebelum bertemu. Lelah sekali... 😌


Berapa tahun setelah itu, kembali terulang kejadian hampir serupa. Saya ngotot bener lagi tentang satu hal pada orang yang harusnya seumuran ibuk saya sendiri, bahkan lebih tua sih. Dibalesi teriakan saya bales lebih keras lagi. Dibalesi banting barang saya banting pintu lebih keras. Diujung tragedi itu saya tutup pintu tutup telinga karena orangnya masih teriak-teriak di depan pintu, lalu milih pergi menghindar berdalih menenangkan pikiran. Banyak orang tahu kejadian itu, banyak juga yang bilang bukan salah saya. Tapi kok ya gelisah sendiri, kepikiran, kepikiran, kepikiran, berat sekali di hati dan otak. Efeknya ya ke orang-orang terdekat. Jadi gampang muring-muring, gampang nangis, gampang sakit ketika dapat masalah sepele lainnya...


Dan kejadian begini ga hanya sekali dua kali, terjadi berulang dengan orang lain lagi, entah lebih tua atau lebih muda. Setelah sibuk salah-salahin orang, entah kerasukan apa tetiba saya yang mikir, "koyoe aku sing ga beres iki. Kenapa kejadian begini berulang terus ga mari-mari"

Karena kesalahpahaman itu berumur panjang. Dan terus jadi hutang budi yang panjang juga untuk dibayar. Jadi beban pikiran yang sulit disadari kalau kita ga mau berhenti sebentar, merenung dan belajar.

Beruntungnya waktu itu seperti mendapat moment untuk merenung waktu datang di acara Maiyahan karena pas dekat rumah. Hari itu seperti biasa, Mbah Nun datang full Kyai Kanjeng komplit minus mas Sabrang saja. Yang bikin mikir di akhir-akhir acara, hampir subuh, Mbah Nun kok yo pas banget mengingatkan lagi soal kebenaran. Selayaknya layout sebuah rumah, 'Benar' itu serupa dapur. Letaknya di belakang rumah. Yang kalau ada tamu tentu bukan diarahkan ke dapur, tetapi ruang tamu. 'Benar' itu serupa makanan mentah. Yang  masih harus diolah dan dimasak lagi supaya tampilannya indah, rasanya enak, menyenangkan hati yang memakannya.
Bicara kebenaran rupanya juga harus disertai rasa tawadduq. Supaya tidak jadi benere dewe. Disertai adab supaya terdengar lebih santun dan menenangkan hati yang diajak bicara. 

Bicara kebenaran nyatanya ga semudah yang diomongkan yo. "Yawes jujur ae, ngomong ae opo onok e..." Gitu kata orang-orang


Faktanya ya kan ga semudah itu Ferguzo...


Jadi, kalau ada teman, orang lain, yang pas bicara kebenaran dengan kita kok enak didengar, ga terkesan menggurui, masuk akal, dan bikin hati krenteg untuk nurut, percayalah orang itu sudah lalui banyak hal dan pengalaman. Sudah level ultimate, damage nya ga nguati kalo ikut bahasanya kidkin 😁✌️


Tibaknya yo, ngomong soal kebenaran saja banyak lapisannya, banyak yang perlu dipelajari lagi. Butuh pengetahuan adab, butuh ilmu komunikasi, butuh keberanian dan pengalaman, butuh kepekaan tinggi supaya minimal yang diajak bicara, entah anak entah orang yang jauh lebih tua, mengerti maksud pembicaraan kita. Urusan didengarkan, dituruti, dilakoni, itu masuk ranah hidayah kok. Gusti Allah yang bisa membolak-balikkan hati orang, bukan kita yang hanya remahan rengginang mlempem di toples khong guan ini.

"Wong aku bener kok. Wong sing tak omongno kenyataan. Fakta. Onok buktine."

Ohh sudahlah, Fernandez...

Itu masa lalu. Apa sih yang didapat dari semua itu? Pride? Prejudice? Leh iku lak judul film lawas. 🤣 maapkan mblakrak 

Ampuni dirimu sendiri pernah jadi orang yang kakunya kaya kanebo kering begitu.... Belajar lagi, kumpul-kumpul lagi dengan banyak orang, sering mendengar orang lain dulu baru bicara bila perlu. Supaya bisa jadi lebih baik dari kita yang kemarin. Bicara benar, harus belajar dulu mendengarkan, menganalisa, memahami orang yang akan diajak bicara, melihat situasi, menata runtutan point-point pembicaraannya dulu di pikiran. Lalu berdoa seperti Nabi Musa A.S, Doa Dimudahkan segala urusan




رب اشرح لي صدري ويسر لي أمري واحلل عقدة من لساني يفقهوا قولي 

Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah Kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti Perkataanku (QS. Thaha : 25-28)

Dan waktu yang akan membantumu jadi minimal kaya kanebo teles lah ya sekarang, ga kaku lagi😁


Segala hal baik pasti dimudahkan. Niati dalam hati semua yang kita lakukan ditujukan baik, nanti datang sendiri bantuan yang ga kita sadari. Kemudahan yang baru bisa kita lihat setelah semua terlewati. Minimal perasaan yang plong dan pikiran yang jauh lebih enteng, bukan seperti sibuk berjuang sendiri seolah diacuhkan orang lain. Itu berat, Romario. Sungguh. 

Ayo berubah koyo ultramen bareng-bareng

 ♪┌|∵|┘♪

Ditulis sebagai self reminder buat diri sendiri yang pikunnya naudzubillah. Biar eleng dan mau terus nelungsungi selalu, sebelum kehabisan waktu☺️

Persepsi diri sendiri yang sangat subyektif tentu saja, semoga terus diarahkan ke yang lebih baik kedepannya ☺️

#selfreminder #piweling #maiyahan

Comments

Popular posts from this blog

this is how I disappear

gerhana matahari

Ndleming