11

 


"Manusia akan mati ketika dilupakan..

dr. Hiluluk -Drum Island Arc, One Piece-

Februari sudah datang. Seperti yang sudah-sudah, 11 tahun belakangan, bulan ini memang paling memorable selain april. Iya, ini bulan kelahiran Kalinda, dan April bulan kelahiran Kidung-Kinanthi.

Mungkin akan ada yang bilang 'Duh kok lebay sih, sudah meninggal 11tahun, masih bayi juga, ga ada kenangan apa-apa, kok yo terus diingat'

Buat kami, saya pribadi sebagai ibuk, kelahiran sekaligus kepergian Kalinda itu bukan soal perasaan sedihnya saja. Yang terpenting pada pelajarannya, pada apa yang terjadi sebelum dan setelahnya, sejauh mana saya, kami bisa belajar dari itu. 

Jadi itu ga mungkin kami lupa, meskipun kami pelupa akut. Karena itu kalinda selalu ada di tiap tulisan, di tiap cerita bareng KidKin malem-malem saat makan atau menjelang tidur. 

Kalau orang lain kebetulan membaca, atau mendengar cerita kami dan kemudian melow, welas pada kami, tentu saja kami terima reaksi itu sebagai bentuk perhatian mereka pada kami, keluarga kecil nomaden yang hobinya sama-sama mager ini ๐Ÿ˜„

Kalau mau diingat-ingat, kelahiran Kalinda itu sebenarnya antara kami tunggu dan tidak. Kami tunggu karena tentu saja sebagai pasangan baru, apalagi yang diharap selain kelahiran anak. Disisi lain, kami ragu saat tahu ada Kalinda akan hadir, karena pernikahan kami dimulai bukan dari nol, tapi minus. Dalam segala hal. Finansial, pengetahuan, mental.

Kami kontraktor, alias pindah-pindah kontrakan. Punya hutang modal usaha, baru saja ditipu teman dan berakhir dengan pinjaman bank yang entah kedepannya bagaimana. Bukan sepenuhnya salah teman, tapi kami saja yang idealisnya ampun-ampunan untuk mewujudkan mimpi usaha sendiri, ga mau kerja dibawah orang lagi karena satu dan lain hal padahal modal pas-pasan. Ketika akhirnya satu hal terjadi, efeknya seperti domino, merembet kemana-mana. Jadi saat seperti itu, lalu tahu kondisi hamil, pikiran tentu saja senang berbalut kalut. 

Tapi ya namanya usia muda, 26 dan 27 umur kami waktu itu, masih lucu-lucunya ngomong soal kehidupan. Sok-sok an yakin kalo semua bisa diselesaikan tanpa mikir resiko besarnya. Tanpa mau dibantu atau minta bantuan siapapun. Idealisnya super gede.

Saat kami saja belum selesai dengan diri sendiri, februari 2012, Kalinda lahir dengan segala dramanya. Sebenarnya drama sudah dimulai di usia kehamilan awal. Batuk ga berhenti, ga bisa mandi, flek dan keputihan, males makan dan masalah-masalah lain yang kami kira (berbekal pengetahuan soal kehamilan yang minim), itu normal saja terjadi. Di bulan ketiga atau empat kalo ga salah ingat, bu Bidan sudah mewanti-wanti bahwa ada sesuatu. Ada hal yang harus diperhatikan dan harus rajin kontrol. Ga boleh banyak pikiran dan kerjaan. Tapi ya namanya kondisi ekonomi ga bagus-bagus amat, mental drop kaya langit mendung, mellow melulu, kami abai pada kondisi Kalinda. Yakin ga mau USG karena minimnya pengetahuan, mengira USG hanya soal pingin tahu jenis kelamin, eman uangnya karena harganya juga lumayan. Padahal sebenarnya bukan sesimpel itu juga kan ๐Ÿ˜Œ

Usg minimal harus dilakukan saat janin masuk trimester kedua, tiga. Apalagi Kalinda sudah ada indikasi ga terlalu baik di awal trimester. Jadi supaya bisa lebih terkontrol baik kesehatan janin maupun ibu. Dan itu ga bisa kami lakukan, karena minimnya ilmu dan dana plus kemageran kami mencari tahu. 

Tengah malam persis, 24 Februari 2012, flek muncul, dan mulai ada mules yang teratur datang dan pergi. Dari hasil sharing bareng temen sebelum-sebelumnya, saya yakin itu adalah tanda Kalinda akan segera lahir. Sayangnya tertunda hujan super lebat, jadi baru berangkat ke bidan subuh.

"Pak, durung tuku bak mandi" Kata saya di sepeda motor saat perjalanan ke bidan.

"Iyo gampang ngkok aku tuku, sing penting lahir sek" Begitu jawab suami. Bikin saya melas sendiri kalo ingat percakapan itu ๐Ÿ˜„

"Lahir lah mariki. Mariki aku gaiso masak loh. Wes iso kan nggawe sop, adang dewe, ngadusi yo pak sampe aku iso ngurusi kalinda dewe, bapak wes siap tah" Begitu cerewetnya saya waktu itu  yang dijawab dengan jawaban pendek dari suami.

"Iyo, penting lahir sek, ibuk dan areke sehat"

Dan begitulah cerita 10 tahun lalu itu terjadi. Dari subuh hingga magrib 'drama' kelahiran sekaligus kepergian Kalinda yang sudah ditetapkan oleh Gusti Allah terjadi. 

Kalinda, yang artinya matahari, memang serupa itu. Datang di saat fajar dan tenggelam saat senja.

Ceritanya juga sudah berulang saya dan suami tulis, dengan berbagai gaya bercerita, untuk dokumentasi Kidung dan Kinanthi kelak. Untuk reminder kami sendiri. 

Bahwa tidak tahu itu gak masalah, yang jadi masalah adalah tidak mau mencari tahu. Bodoh itu adalah, menerima informasi begitu saja tanpa mau repot mencari lebih detail. 

Bahwa segala terjadi karena suatu alasan. Kadang-kadang kita saja yang belum tahu dan mengerti alasan dibalik musibah lalu menderita sendiri.

11 tahun ini kami baru sadar, banyak langkah besar yang kami ambil dimulai dari 24 februari itu. Banyak keputusan penting terutama menyangkut idealisme kami soal pekerjaan itu kami pendam dulu sebentar, karena ada hal yang ternyata jauh lebih penting dari sekedar jadi bos di usaha sendiri. Ada hal lebih penting dari hidup mandiri dirumah sendiri meski itu sewa/kos. Ada hal yang ga boleh dikorbankan lagi karena egoisnya kami sebagai pasangan. Masih ada banyak hal yang belum kami tahu. Masih harus terus belajar alih-alih sombong ngomong soal kehidupan. Butuh waktu lama untuk membenahi semua itu, menebus salah dan bodohnya kami saat itu. 

Jadi hari ini, saat suami akhirnya bekerja di bidang yang alhamdulillah akhirnya sesuai keahliannya, bekerja di bawah yayasan pendidikan, diatur-atur bos yang tentu saja cerewetnya 2x lipat istrinya, namun beliau tetap menikmati itu di tahun ke-4nya, itu bukan proses yang mudah mengingat idealisme kami dulu ๐Ÿ˜„

Atau saya, yang seringkali dianggap 'nganggur' atau bahkan 'kemlithi' karena masih belajar ini itu, beli buku ini itu, ngotot momong KidKin sendiri sambil nyambi ini itu, saya sedang menghukum diri sendiri atas malasnya saya belajar dan bekerja padahal sudah menjadi istri dan calon ibu waktu itu. 

Dari mana kita bisa pantas disebut orangtua, kalau apa yang bisa kita berikan ke anak hanya sebatas nama? Mungkin bukan uang, bukan warisan, tapi kami sadar menjadi orangtua itu proses belajar tanpa henti.

 Proses selesai dengan diri sendiri lalu fokus pada anak dan pasangan itu harus dijalani. Bahwa ada Kalinda, Kidung dan Kinanthi bisa jadi alasan Gusti Allah untuk membuat si ibu dan bapak mager ini buat mulai berlari, ga males-malesan lagi, sinau dengan sekitar dan keluarga besar, mau mengamati dan belajar dari kesalahan. Kerjo disek, benerin mental disek, sinau disek, nanti ada waktunya mager-mageran lagi ๐Ÿ™‚

Idealismenya nanti, saat sudah maksimal melakukan yang bisa dilakukan. Nanti, ada masanya saat bebas melakukan pekerjaan yang dimau, tinggal dirumah sendiri. Sekarang lari dulu, kerja apa saja dulu, membersamai KidKin dulu, tipis-tipis disambi dan diniati ngerumat orangtua dulu sebisanya, meskipun orangtua dan mertua sebenarnya bukan orang yang rewel dan butuh penjagaan super juga. Ya sudahlah, nunut dulu, semoga sabarnya orangtua dan mertua terus ditambah buat ketidakmandirian kami saat ini. 24 jamnya diatur sepintar-pintarnya demi Kalinda yang masih hidup di pikiran kami, dan gak pernah mati karena tak mungkin kami lupa. Terlalu besar pengorbanan Kalinda kami yang mungil, hanya untuk membuat orangtuanya jadi mau terus belajar dan 'obah', bukan sekedar ngumpulin quote, tafsir dan mimpi semata tapi lupa usaha. 


Hai Kalinda Kanaputri, matahari kami, sudah sepanjang apa rambutmu 11tahun ini? ☺


Comments

Popular posts from this blog

this is how I disappear

gerhana matahari

Ndleming