Merobek Sumatra
Apa yang terlintas dalam pikiran kala tersebut nama-nama kota di pulau Sumatra?
Mentawai, Aceh, Sawahlunto, Padang, Batam, Jambi, dsb...
Bisa jadi kita akan tertuju pada kulinernya. Siapa yang tak kenal masakan padang? Pada warung kopi yang tersebar di seluruh penjuru aceh karena budaya 'ngopi dan nongkrong' yang kental disana.
Atau pada ombak yang membuai surfer-surfer dunia di lautan Mentawai.
Bisa jadi juga kita terkenang Cut Nyak Dien, perang Padri, GAM, atau justru tsunami Aceh.
Lewat buku ini saya diajak mengenal Sumatra lebih akrab. Satu-persatu wilayah dijelajahi penulis, ditangkap memorinya melalui catatan perjalanan dan foto-foto yang membuat ndoweh spechless.
Gaya penulisannya mengingatkan saya pada Agustinus Wibowo, yang berhasil 'menghadirkan' gambaran tentang Asia Tengah dengan detilnya dalam 'trilogi' bukunya (Selimut Debu, Garis Batas, dan Titik Nol)
Tak hanya pada lanskapnya, tetapi juga karakter penduduknya. Dibuku ini, begitulah Sumatra dihadirkan melalui perspektif Fatris MF, seorang senior traveler dan fotografer yang catatan perjalanannya sudah sering dimuat di berbagai media massa.
Meskipun disana-sini masih ada penceritaan yang kurang rapi, tetapi penulis setidaknya telah mampu menunjukkan kegelisahannya, kekhawatirannya, hingga kekaguman dan lelucon-lelucon khas tanah Sumatra. Atau lebih tepatnya catatan perjalanan ini terasa lebih kritis, tetapi tidak kehilangan selera humor. Rata-rata begitulah review dari para pembaca buku ini.
"Jangankan dengan Jakarta, hen, Mekah saja kalah ramainya oleh Pariaman," seorang lelaki berceloteh di sebuah warung. O, begitu berlebihan tentu. Itulah kehebatan orang Pariaman barangkali. Kadang saya susah membedakan mana metafora, mana kenyataan sesungguhnya. Di Pariaman, realitas kata-kata telah terbunuh jauh sebelum es mencair di kutub."
Tulis Fatris MF pada Bab 'Hari Perkabungan Masyarakat Pantai Barat' (hal. 169-179), menanggapi masyarakat Pariaman yang suka bicara dengan menyisipkan majas hiperbola.
Lengkap digambarkan pula, kondisi Aceh 10 tahun pasca tsunami (buku ini terbitan tahun 2015). Damainya Aceh hari ini tanpa penjagaan ketat tentara, obrolan malam di warung kopi yang tersebar diseluruh penjuru aceh, penerapan hukum syariat, geliat wisata hingga kegelisahan mantan anggota TNA (kita biasa menyebut dengan GAM) yang menjadi pengangguran, monumen-monumen yang giat dibangun untuk mengenang tsunami dasyat 2004 silam dan banyak lagi.
Must read book?
Ya! Tidak banyak buku yang bercerita tentang Indonesia dengan cara penulisan seperti ini disertai foto yang memanjakan mata. Mengajak mengenal negeri kita dengan cara yang asyik, meskipun sejujurnya tak cukup buku ini menggambarkan begitu banyak kota di Sumatra hanya dalam 212 halaman saja. Terlebih karena judulnya yang begitu 'bombastis'.
#MerobekSumatra
Beberapa waktu yang lalu saya coba browsing stok buku ini, dan ternyata tidak lagi banyak tersedia di beberapa toko buku online-offline langganan saya. Harganya berkisar 30-50ribuan. Membuat saya merasa beruntung punya kenalan teman fotografer yang sudi mengirim buku ini cuma-cuma. Meskipun sementara belum diketahui dimana buku saya berada. Review diatas saya tulis kisaran 2018, dimana 2 tahun setelahnya kami pindah rumah. Mungkin terselip diantara kardus buku di rumah ibuk. Mungkin juga sudah ditukar di tukang loak langganan (seperti selalu) -.-
Semoga masih rapi di kardus, menunggu diselamatkan dan ditata rapi di rak buku buluk kami. Sebagai koleksi buku bacaan untuk Kidung dan Kinanthi kelak. Anyway, bagi yang tertarik membaca, mungkin bisa intip sedikit di google books.
Atau males baca tapi pinisirin? Bisa juga dengerin noice
Semoga ada karya baru dari bang Fatris, atau ada penulis lain yang membahas detil bagian Indonesia lainnya, ditunggu 😉
#mustreadbook #perspectiveku #mocobuku
Comments
Post a Comment