Paylater, Pailit Later

Ternyata pemahaman saya salah tentang rezeki selama ini. Dan sedikit ilmu dan kesadaran itu justru saya dapat setelah jatuh dalam hutang yang diluar kemampuan bayar. Iya, sungguh rasanya kapok sekali dengan yang namanya hutang. Menyesal, geram sekaligus penasaran dengan kondisi yang tetiba saja kami hadapi. Lalu mulai sibuk mencari apa yang salah, karena jelas ada pemahaman yang keliru dengan output yang seperti itu meskipun menurut saya ((dulu)) cara yang ditempuh sudah benar. 

Rupanya benar bahwa sombong itu sifat manusia, saat sudah merasa bisa, merasa mengerti, dan mulai lupa bahwa segala hal terjadi atas KuasaNya. 

Berpikir bahwa hutang itu solusi dari masalah padahal jelas ada imbuhan bunga di dalamnya. Merasa bahwa gaji itulah yang menjamin hidup, alih-alih rezeki sudah ada yang mengatur. Lupa dan takut mengurangi kenyamanan hidup jika sampai uang kurang. 

Pada akhirnya menjalani bulan-bulan dengan tagihan berjalan itu tidak pernah semudah yang disangka diawal. Dikira gaji akan cukup membiayai hidup dan membayar tagihan sesuai tanggal, faktanya malah lebih sering ketakutan dengan tanggal tagihan. Hitung-hitungan yang rasa-rasanya sudah fix, 'mbleset' ga karuan membuat jungkir balik pikiran. Pusing dan uring-uringan jika ada pengeluaran berlebih atau terjadi hal-hal darurat diluar rencana. Ujung-ujungnya, bertengkar dengan pasangan dan saling menyalahkan. Hidup rasanya amburadul, kena mental, sakit-sakit berdatangan tanpa kompromi.


Dan tanpa terasa 3 tahun kami jalani dengan pelan-pelan sembari merenung. Membuat skala prioritas dan berkomitmen untuk stop berhutang, apapun kondisinya. Berat? Banget!

Selalu ada alasan pembenaran dari tindakan berhutang. Tetiba orangtua opname, seragam anak mulai mengecil, gaji yang tak kunjung naik sementara barang kebutuhan ganti harga lebih tinggi, dan seterusnya bla bla bla.

Iya, hutang kami memang bukan untuk foya-foya. Tetapi menjadikan itu alasan kok sepertinya "meragukan" ketetapan Gusti Allah. Bahwa hari ini kamu dapat penghasilan 20 dan pengeluaranmu 25, lalu mulai mengeluh tanpa mau menjalani dulu. Bisa jadi besok penghasilan 20 tanpa pengeluaran sehingga bisa ditabung. Terserah-serah Allah, begitu kata Mbah Nun. Dialah yang menciptakan kita, dijadikan seperti apapun ya ga mungkin bisa kita mengelak. Pada titik itu kami sepakat untuk ridho dulu pada takdir kami.

 Dijadikan kreditur, berada di titik terendah, kemungkinan dihina, disalahkan, ditertawakan oleh orang lain, gak popo, terima saja dulu. Itu juga yang diajarkan Mbah Nun. Ampuni saja dulu diri sendiri. Yang penting sudah saling jujur sebagai pasangan, kepada anak-anak juga, dan mulai membuat skala kebutuhan karena hidup harus terus berjalan kan. 

Bekerja dan memprioritaskan hutang yang perlu dibayar dulu. Lalu lanjut perlahan berganti ke kewajiban yang lain. Begitu seterusnya hingga selesai. Perkiraan kami waktu itu mungkin butuh 3-5 tahun dengan gaji yang kami dapat perbulan. Dan kami pasrah saja. 

Lalu mulailah hari-hari kami yang baru, dengan mindset yang baru. 

Konsep bekerja untuk mencari rezeki halal sudah. Memastikan bahwa pekerjaan yang dilakukan halal dan saling memberi manfaat sudah. 

Bekerja untuk menghindar dari perbuatan hutang dan meminta-minta sudah dilakukan sesuai kemampuan. 

Bekerja dengan tanggung jawab penuh juga sudah dipraktekkan. Selama ini juga tidak ada keluhan tentang kinerja baik dari teman maupun bos. 

Sembari bekerja juga masih menyempatkan untuk hubungan sosial. Membantu orangtua kontrol kesehatan juga sudah. Merawat dan menjaga anak-anak juga masih jadi prioritas utama. 

Setelah menjalani semua itu tanpa ribet lagi memikirkan uang kami cukup atau tidak untuk kebutuhan hidup, ternyata Gusti Allah menunjukkan pada kami bahwa kami masih baik-baik saja. Masih beribadah, makan, sehat, bekerja, bahkan jauh lebih sibuk dibanding bulan-bulan lalu. 

Padahal gaji masih sama. Hutang juga masih ada. Tetapi malah berkurang jauh dari sebelum kami sadar tentang kesalahan konsep rezeki itu. Alhamdulillah ala kullihal. Belum 3 tahun kami jalani, jauh dari hitung-hitungan kami yang sok matematis. 

Dan begitulah tahun kami lalui. Saat ada pengeluaran besar yang harus kami tanggung, ndilalah selalu ada cara untuk memenuhi tanpa tergiur lagi pada mudahnya berhutang. Dan anehnya kok ya makin banyak tawaran itu datang, anehnya lagi setelah kami tolak, ada saja tambahan dana datang yang tidak pernah kami kira sebelumnya. 

Sungguh kami kapok. Ingat sakitnya, ingat mumetnya, ingat putus asanya, ingat banyak hal yang kalau bukan kuasanya Gusti Allah, mustahil kami bertahan. Dan itu rezeki yang mudah sekali kami lupakan selama ini. 

Belakangan, hal yang menurut orang-orang mendesak buat kami adalah punya motor baru. Iya, si astrea itu sudah ga ideal lagi buat kami berempat. Terlalu 'utuk-utuk' untuk kami ajak ngider. Ada tawaran dibayarkan uang muka kami tinggal mikir cicilan perbulan. Ada opsi motor seken dengan sistem cicilan yang lebih ramah kantong juga. 

Tapi gak dulu lah. Coba nabung saja dulu sampai bisa beli lunas. Seken ga masalah. Atau justru memang buat kami ga begitu mendesak juga. Berdua bekerja di dekat rumah, begitupun sekolah anak-anak ga sampai 5 menit jalan kaki. Kalaupun ada kebutuhan, ya saat harus kumpul keluarga, atau kegiatan-kegiatan sosial macam bowoh, melayat, membesuk orang sakit, rekreasi, dsb. 

Dan itupun kami bisa atasi dengan mikrolet, atau aplikasi gocar, grabcar, maxim gak sih, karena meskipun murah, resiko ditolak juga lebih besar 😄

Memanfaatkan akun yang ndilalah selalu dapat diskon dan voucher hemat, opsi itu yang kami ambil sementara ini. 

Hitung-hitungannya, ada dana gojek/grab yang harus kami sisihkan perbulan. Dari 100-500 ribuan. Itu jauh lebih hemat dibanding beli motor dengan cicilan 800 ribu - 1,5 juta perbulan yang wajib dibayar karena ada denda berjalan jika telat. Sementara kalau mau sabar naik angkutan umum dulu, tidak ada yang perlu dipikir selain siap-siap kresek dan segebok permen karena mabuk perjalanan😝

Dari sisa pengeluaran itu, jika ada, sebisa mungkin ditabung. Bedanya, hitungan kali ini ga pake hitungan manusia. Misal sebulan 100, setahun jadi 1,2 juta. Nggak begitu, ga perlu dihitung. Semaksimalnya saja berhemat dan menabung. Perkara setahun jadi 600ribu, atau bahkan 5 juta, terserah-serah Allah saja. Yang penting, kebutuhan keluarga terutama anak didahulukan. Begitupun pada diri sendiri, ga boleh pelit sampai bikin sakit. Sekiranya besok sudah ada makanan yang bisa dimakan berempat, maka kaya lah kami hari itu ☺

Kalau sudah rejeki, kalau Allah ridho, begitupun kita nriman, ga mikir flexing apalagi buat sekedar pembuktian ke tetangga, mau motor, rumah, mobil, pasti bisa saja terbeli. Pada saatnya. Ga perlu mikir aneh-aneh dan ndesani begitulah, Al. 

Anteng saja bekerja, beribadah, ga cari masalah dengan orang sekitar, ga mematikan rejeki orang lain, dan perbuatan-perbuatan sederhana lainnya yang bisa dilakukan setiap hari. Sekedar memberi minum kucing. Ngajak teman anak-anak ngobrol, kasih tebakan-tebakan random yang bikin mereka ngakak hingga lupa jahil pada temannya. As simple as that. 

Berbuat baik setiap hari, begitu pesan Mbah Nun pada kami cucu maiyahan ini. Dan itulah yang sedang kami jalani di 2025, meskipun belum jadi orang yang baik. Kamipun belum wisuda. Masih terombang-ambing tergiur pada kemudahan-kemudahan sesaat. Tetapi ya sudahlah. Percaya sepenuhnya pada takdir yang Gusti Allah tetapkan, bukan sekedar sebagai rukun iman saja, tetapi diterapkan sehari-hari. Hilangkan pikiran bahwa kalau ga hutang ga mungkin bisa dapat. Karena riba tak hanya membuat rusak mentalmu, tetapi juga semacam menantang kuasa Gusti Allah. Serasa rezeki yang ditetapkanNya atas kita itu salah hingga butuh berhutang. Naudzubillah min dzalik. 

Semoga Allah cukupkan kami, kamu, kamu, dan kamu pada harta yang halal, hati yang sabar dan nriman. 

Are you ready, 2025? 😎


*tulisan sepanjang tahun 2022-2025, ditulis sebagai reminder diri sendiri bukan untuk menggurui siapapun wong kami ini murid yang masih suka telat masuk kelas 😆




Comments

Popular posts from this blog

Kalau mendadak hilang selera pada donat. Itu pertanda gawat, Paman.

:.middle of nowhere.:

Kun..